Sabtu, 27 Agustus 2016

SIASAT DI BALIK SUAP REKLAMASI




Reklamasi Teluk Jakarta tak hanya alot saat memulainya 21 tahun lalu, juga liat saat menghentikannya. Setelah mulus hingga pengurukan, karena ditentang sana-sini, pemerintah menghentikan sementara pembuatan 17 pulau itu pada 19 April 2016. Tiga bulan kemudian, atau 29 Juni 2016, Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli mengumumkan pembuatan Pulau G dihentikan secara permanen.

Pulau C, D, dan N dilanjutkan dengan sejumlah perbaikan. Tim Bersama Reklamasi masih menggodok kemungkinan menghentikan pulau lain yang belum sempat dibahas. Pulau G disetop karena pembuatannya masuk kategori pelanggaran berat: jarak pulau ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang tak lebih 300 meter. Padahal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 5/2010 tentang Kenavigasian pasal 38 ayat 3a, zona aman di sekitar objek vital minimal 500 meter.

Setelah keputusan yang diteken Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo karena keberatan pada putusan itu.

Menurut Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang Oswar Muadzin Mungkasa, yang juga anggota Tim Bersama, keputusan itu melenceng dari rekomendasi tim. Ada tiga tim kecil dalam Komite: penyelaras aturan, lingkungan hidup, dan tim teknis reklamasi. Menurut Oswar, tim merekomendasikan Pulau G tetap dilanjutkan dengan perbaikan.

Dalam slide presentasi tim, Pulau G memang tak dihentikan. Namun, menurut Deputi Menteri Kemaritiman Bidang Maritim Safri Burhanuddin, slide hanya presentasi saat rapat. Keputusan Pulau G diambil setelah itu dengan menimbang banyak usulan dari peserta rapat. “Tim dari Kementerian Kelautan usul izin dicabut, semua setuju,” kata Menteri Rizal pekan lalu.

Saat rapat itu, kata Rizal, Oswar tak menyampaikan keberatan seperti ditulis dalam surat kepada Presiden. “Dia malah setuju, cek saja ada rekaman rapatnya,” kata Rizal. Safri menambahkan ada pernyataan Oswar soal Pulau G dalam surat kepada Tim. “Tapi dalam rapat terbuka dia tak ngomong apa-apa,” Rizal menimpali.

Rizal meminta Gubernur Basuki tak cengeng karena mengadukan semua hal kepada presiden. Soal reklamasi Teluk Jakarta, kata dia, cukup diputuskan tiga menteri. Basuki menanggapinya dengan dingin. Menurut dia, laporannya kepada presiden karena izin reklamasi berdasarkan Keputusan Presiden. “Kalau tak melapor saya juga salah,” katanya.



Kementerian Kelautan dan Perikanan menyorotinya dari aturan lain. Menurut Menteri Susi Pudjiastuti, Jakarta merupakan kawasan starategis nasional tertentu menurut Peraturan Presiden 12/2008. Sehingga izin reklamasi, meski diterbitkan Gubernur, harus mendapat rekomendasi dari Menteri. “Reklamasi Jakarta ini tanpa ada kajian dan rekomendasi dari kami,” kata Susi.

Dari 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta, Pulau A dan B berada di Jakarta dan Banten. Pulau ini dibuat oleh PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group, yang dipimpin anggota Dewan Perwakilan Daerah Nono Sampono. Nono menjadi rival Basuki dalam pemilihan gubernur 2012 sebagai calon wakil gubernur mendampingi Alex Noerdin dari Golkar. “Keterlibatan Kementerian dalam penerbitan Amdal tak bisa ditawar lagi karena itu satu kawasan ekosistem,” ujar San Afri yang menjadi Koordinator Tim Lingkungan dalam Komite Bersama.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tuty Kusumawati berpendapat lain. Menurut dia Pulau A dan B akan dipisahkan oleh kanal yang sekaligus menjadi batas dua provinsi itu. Pemerintah Jakarta hanya menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi untuk pulau yang ada di wilayah Ibu Kota. “Karena ada di Jakarta, Amdal dari kami,” katanya.

Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jakarta Junaedi menambahkan dasar pemerintah daerah menerbitkan Amdal yang tak dinilai Kementerian Lingkungan adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8/2013 tentang Tata Laksana Penilaian Dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup Serta Penerbitan Izin Lingkungan. Menurut aturan itu, jika reklamasi di satu provinsi, penilainya cukup Komisi Amdal Daerah. Dengan basis itu pemerintah Jakarta sudah menyetujui sepuluh Amdal untuk sepuluh pulau.

Kementerian Kelautan dan Perikanan menyorotinya dari aturan lain. Menurut Menteri Susi Pudjiastuti, Jakarta merupakan kawasan starategis nasional tertentu menurut Peraturan Presiden 12/2008. Sehingga izin reklamasi, meski diterbitkan Gubernur, harus mendapat rekomendasi dari Menteri. “Reklamasi Jakarta ini tanpa ada kajian dan rekomendasi dari kami,” kata Susi.

Tuty menyangkal Susi. Menurut dia, Jakarta bukan termasuk kawasan strategis nasional tertentu, melainkan hanya kawasan strategis nasional belaka. Dua kategori ini, kata Tuty, diatur dalam Peraturan Pemerintah 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional serta Peraturan Presiden Nomor 54/2008 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.

Lagi pula, kata Tuty, Keputusan Presiden Nomor 52/1995, yang menjadi dasar pemerintah Jakarta mengeluarkan izin reklamasi, berlaku lex specialist. Ia mengklaim diskusi antara pemerintah pusat dan daerah mengerucut pada persetujuan pandangan Tuty. Untuk memperjelasnya, segala perdebatan aturan itu dibahas dalam Komite Bersama.

Menteri Rizal menyergahnya. Menurut dia, di Indonesia hanya ada dua aturan khusus yang bisa mengabaikan aturan lain, yakni Undang-Undang Minyak dan Gas serta aturan tentang kontrak karya perusahaan minyak. Dua aturan ini mengabaikan aturan pajak. “Saya tak pernah dengar ada keputusan presiden bersifat lex specialist,” kata Rizal.

Moratorium membuat segala izin yang telah dikeluarkan untuk segala kegiatan reklamasi berada dalam status quo. Soalnya, Tim Reklamasi merekomendasikan agar izin semua pulau diajukan baru kepada Kementerian Perhubungan karena Teluk Jakarta berada di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa. Kewenangan ini diatur dalam PP 5/2010 itu. Izin reklamasi 17 pulau sejauh ini diterbitkan hanya oleh Gubernur Jakarta.

Setelah izin reklamasi diterbitkan Gubernur Jakarta sejak 2010, dasar kegiatan pengembang membuat bangunan di atas pulau yang sudah jadi adalah Peraturan Daerah Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara. Dua aturan tersebut batal disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena Komisi Pemberantasan Korupsi mencokok Mohamad Sanusi, politikus Gerindra, seusai menerima suap dari Direktur Utama Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja pada 31 Maret 2016.

Podomoro telah selesai membuat pondasi Pulau G. Urukannya mencapai 18 persen ketika dihentikan. Perusahaan properti itu juga sudah lama mengiklankan dan menjual apartemen dan perkantoran di pulau seluas 161 hektare itu. Ariesman ikut menjadi tersangka karena diduga menyuruh anak buahnya memberikan Rp 1,1 miliar kepada Sanusi, Ketua Komisi Pembangunan DPRD Jakarta. Ia bukan anggota Badan Legislasi yang memutuskan dua Rancangan aturan itu, tapi diduga berperan mengatur anggota Dewan merancang siasat pengembang menjegal aturan-aturan yang memberatkan mereka.

Sanusi, misalnya, diduga menjadi perantara pertemuan antara Sugianto Kusuma, pemilik Agung Sedayu, dengan pimpinan DPRD. Mereka adalah Ketua Prasetio Edi Marsudi, Wakil Ketua Mohamad Taufik—kakak Sanusi—Ketua Panitia Khusus Reklamasi Selamat Nurdin, dan anggota Ongen Sangaji pada Desember lalu. Di DPRD, keempatnya kerap disebut “Geng STOP”—akronim dari nama mereka.

KPK menduga suap yang sudah diberikan lima kali secara bertahap itu untuk menurunkan kontribusi tambahan pengembang sebesar 15 persen menjadi lima persen yang diinginkan Gubernur Basuki dalam Rancangan Perda Tata Ruang. Dalam Rancangan itu, Gubernur Basuki mewajibkan pengembang membangun 40 persen lahan untuk ruang terbuka hijau, 5 persen untuk fasilitas umum dan khusus, seperti rumah susun sederhana untuk pekerja pulau. Dari jumlah itu, pengembang masih wajib membayar 15 persen x nilai jual objek pajak x luas lahan yang terjual. Dengan asumsi nilai pajak Rp 25 juta dan semua lahan hak pengembang terjual, pemerintah Jakarta bakal mendapat Rp 48 triliun dari sepuluh pulau—tujuh pulau milik pemerintah.

Penangkapan Sanusi itu mengingatkan Tuty pada kejadian 8 Maret 2016. Ia dan beberapa pejabat teras Jakarta dipanggil Basuki ke ruang kerjanya di Balai Kota. Tuty menyodorkan draf Rancangan yang dititipkan Ketua Badan Legilsasi Mohamad Taufik. Dalam draf itu, Taufik mengusulkan agar kontribusi tambahan diatur dalam perjanjian antara Gubernur dengan pengembang saja. Itu pun besarnya hanya 5 persen yang bisa diambil di awal, yakni sebelum pengerjaan reklamasi dan penjualan lahannya berlangsung. Bunyi pasal 110 ayat 5 huruf c yang diajukan Taufik berbunyi: “Tambahan kontribusi adalah kontribusi yang dapat diambil di awal dengan mengkonversi dari kontribusi (yang 5 persen) yang akan diatur dengan perjanjian kerjasama antara gubernur dengan pengembang”.




Basuki meledak membaca usulan itu. “Urat lehernya sampai keluar,” kata Tuty. Basuki lalu mencoret-coret draf dari Taufik tersebut dengan kata-kata “Gila, kalau seperti ini bisa pidana korupsi!”. Menurut Tuty, dugaan KPK soal penurunan kontribusi tambahan itu agak keliru karena upaya DPRD mengurangi kontribusi tambahan memakai pelbagai cara. Kontribusi turun dari 15 persen menjadi 5 persen hanya salah satu siasat.

Sebetulnya, mengutak-atik rumus kontribusi tambahan adalah cara kedua politikus di DPRD mengurangi kewajiban pengembang kepada pemerintah. Cara pertama adalah memindahkannya ke peraturan gubernur. Rumus tak berubah, hanya tak diatur dalam Perda. Basuki sudah setuju dengan usul ini. Ia berpikir mendapat cek kosong karena pengaturan kontribusi bisa dia atur sepenuhnya.

Dalam draf 22 Februari 2016, kontribusi tambahan pada pasal 116 sudah dilempar ke peraturan gubernur. Belakangan ia sadar itu rencana jangka panjang DPRD berkaitan dengan pemilihan gubernur. Sanusi berniat melawannya dalam pemilihan 2017. “Jika calon mereka menang, peraturan gubernur bisa dibatalkan,” kata Basuki.

Dugaan ini dikonfirmasi Sanusi saat memberi keterangan dalam pengadilan pada Senin dua pekan lalu. Ia mengatakan pemberian uang dari Ariesman itu akan ia jadikan modal menjadi calon gubernur Jakarta menantang Basuki Tjahaja Purnama. Sebelum ditangkap, wajah Sanusi sempat menghiasi beberapa sudut Jakarta dengan menyebut diri “Bang Uci”. Spanduk menghilang setelah ia dicokok KPK.

Maka Basuki pun kembali ke usul semula, yakni menempatkan kontribusi tambahan 15 persen dalam Perda. Keputusan Basuki ini membuat DPRD memakai siasat lain. Dalam rapat pimpinan gabungan antara eksekutif dan DPRD pada 16 Maret, Taufik kembali membahas penurunan kontribusi tambahan dari 15 persen menjadi minimal 5 persen. “Kami ingin memberi ambang batas minimal,” kata dia.

Untuk mengajukan usul itu, Taufik memakai alibi bahwa BUMN yang mengelola pulau tak akan sanggup membayar karena harus menyetor uang triliunan rupiah kepada pemerintah. Ia juga menyebut kontribusi tambahan tak punya dasar hukum. Partai-partai pendukung reklamasi kompak mendukung Taufik.

Tuty berkilah bahwa kontribusi tambahan mengacu kepada Undang-Undang 30/2014 tentang administrasi pemerintah. “Ada diskresi kepala daerah dalam soal itu,” kata dia. Pemerintah ngotot bertahan dengan rumus itu, fraksi-fraksi juga kompak terus menerus menyuarakan usul Taufik. Fraksi yang menolak mendukung pemerintah bertambah. Rapat pun buntu.

Siasat lain setelah gagal menggoyang besaran kontribusi, DPRD menawarkan pematokan nilai jual objek pajak. Mereka setuju dengan rumus kontribusi tambahan, namun nilai pajak ditetapkan saat ini. “Beberapa anggota Dewan menginginkan di bawah perkiraan kami ,” kata Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Agus Bambang.

Pemerintah, kata Agus, belum menentukan pajak nilai jual karena daratannya belum semua terbentuk. Ia baru memperkirakan sebesar Rp 18-22 juta per meter persegi. Nilai tersebut diperoleh Dinas Pajak dari nilai pajak daratan hasil reklamasi terdekat dari Teluk Jakarta, yakni Pantai Indah Kapuk, saat ini. Pemerintah memperkirakan nilai pajak saat mulai dijual nanti sekitar Rp 36 juta per meter. “Perlu ada kajian lagi,” kata Agus.

Tak hanya memakai banyak siasat menurunkan kontribusi tambahan, anggota DPRD juga tak segan meminta suap kepada pemerintah. Setiap rapat pembahasan, Tuty kerap mendengar celetukan anggota Dewan yang meminta “suplemen”. “Saya tidak tahu artinya. Karena sering ada yang mengatakan itu, saya berniat bawa obat buat mereka,” kata Tuty.

Ingard Joshua mengaku mendengar banyak duit bertebaran di kalangan teman-temannya sejak Desember 2015. Itulah waktu pertemuan Geng STOP dengan Aguan terjadi. Politikus NasDem ini bahkan mendengar nilainya sekitar Rp 5 miliar yang disebar kepada anggota DPRD yang mendukung reklamasi dan bersedia hadir dalam sidang pengesahan.

Pengakuan Ingard dibenarkan Fajar Sidik. Politikus Gerindra ini mengaku ditawari Rp 100 juta jika datang dan setuju Rancangan Perda Zonasi yang diinginkan oleh DPRD pada 6 April. “Saya ditawari oleh orang partai,” katanya. Selain uang, anggota Dewan yang menolak reklamasi juga diimingi-imingi diskon 50 persen jika kelak membeli bangunan di pulau reklamasi. Tawaran itu datang kepada Fraksi Golkar. Bersama Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan, mereka menolak reklamasi. Ketika dikonfirmasi soal tawaran itu, Ketua Fraksi Golkar, Ramli, tak menampik atau membenarkannya.

Semua siasat itu gagal karena dua perda itu batal disahkan. Anggota Dewan jeri penangkapan Sanusi merembet ke mana-mana. Apalagi dalam sidang Sanusi, jaksa membuka sadapan percakapan Geng STOP tentang siasat mengorder pasal kontribusi tambahan. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Pusat juga membatalkan reklamasi Pulau G selamanya, sebelum keputusan yang sama diketuk Rizal Ramli.



#TempoInvestigasi
#ErwanHermawan
#MawardahHanifiyani
#PutriAdityowati





0 komentar:

Posting Komentar

Link Banner

PERBANKAN

REVIEW

KASUS BISNIS

HALAL CORNER

KAJIAN MUSLIM

RENUNGAN

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH INDONESIA

SEJARAH DUNIA

EDITORIAL

DESTINASI INDONESIA

DESTINASI MANCANEGARA