Sabtu, 23 April 2016

PANAMA PAPERS : Pesta Rahasia Para Buronan



Nama dua buronan penegak hukum Indonesia muncul bersama 11,5 juta dokumen lain dalam The Panama Papers. Lenyap dari Indonesia, dua pengusaha yang sudah divonis dalam kasus korupsi, Joko Soegiarto Tjandra dan Agus Anwar, terlacak aktif berbisnis lewat perusahaan cangkang (shell companies) yang dilindungi tabir kerahasiaan di kawasan suaka pajak. Bisa jadi petunjuk baru membuka skandal BLBI.

Seorang staf senior Kejaksaan Agung mendadak menyela penjelasan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah. Menatap atasannya dengan penuh arti, dia berbisik, “Off the record.” Arminsyah terdiam sebentar. Dia sedang menjawab pertanyaan reporter Tempo soal apa saja yang sudah dilakukan aparatur penegak hukum untuk melacak harta kekayaan pengusaha buron Joko Soegiarto Tjandra, pada Kamis siang, 7 April 2016 itu, ketika bawahannya mengingatkan. “Soal itu, kami tidak bias menjawab,” kata Arminsyah kemudian.

Jajaran Kejaksaan Agung memang pantas bersikap ekstra hati-hati. Kegagalan mereka membawa pulang dua buron kelas kakap, Joko Tjandra dan Agus Anwar, sejak kabur bertahun-tahun lalu, sedang jadi sorotan lagi. Pasalnya, dua nama pebisnis yang sudah divonis dalam kasus korupsi ini, belakangan tercantum dalam dokumen bocoran firma hukum Panama, Mossack Fonseca. Informasi tentang dua buron ini terselip dalam data sebesar 2,6 terabyte dalam The Panama Papers. Data yang pertama kali bocor pada koran Jerman Suddeutsche Zeitung ini dipublikasikan serentak oleh 100 media di seluruh dunia di bawah koordinasi The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Tempo adalah satu-satunya media di Indonesia yang memperoleh data bocoran ini.

Kepada Tempo, Arminsyah mengaku para jaksa masih memantau aktivitas Joko Tjandra selama di pelarian. Joker, begitu aparatur penegak hokum menjuluki pengusaha ini, kini berdomisili di Papua Nugini dan kerap pergi ke Singapura, Hongkong, Australia hingga Cina. Kalau sudah tahu, mengapa tidak ditangkap?

“Dia tahu kalau sedang diincar, jadi sudah mempersiapkan segalanya sebelum berkunjung,” kata Arminsyah. Pergi ke manapun, kata dia, Joko selalu dikawal ketat orang-orang dekatnya. Selain itu, kata Arminsyah, anggaran Kejaksaan amat terbatas. Dua faktor itu membuat pengejaran para buron kakap ini jadi tersendat.

Joko Tjandra, 66 tahun, adalah buronan Kejaksaan Agung untuk kasus cessie (hak tagih) Bank Bali senilai Rp 546 miliar. Kasus itu terjadi pada 1999 lalu. Joko kabur dari bandara Halim Perdanakusuma dengan menggunakan pesawat carteran pada 9 Juni 2009 menuju Papua Nugini. Itu persis sehari sebelum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM menyatakan bapak empat anak itu dilarang bepergian ke luar negeri. Kedekatan jarak antara waktu pelarian Joko dan penerbitan perintah cekal membuat banyak orang mencium bau amis kongkalikong.

Sementara Agus Anwar, 60 tahun, adalah mantan Direktur Bank Pelita dan Istimarat yang menikmati Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di puncak krisis ekonomi Indonesia pada 1998 silam. Setelah menolak membayar dana talangan negara sebesar Rp 550 miliar, Agus menghilang. Konon dia kabur ke Singapura. Kejaksaan mengatakan baru 70 persen dari uang itu yang dibayarkan Agus pada negara.

Pada 18 September 2012, Menteri Keuangan (waktu itu) Agus Martowardojo mengatakan Agus Anwar masih belum membayar utangnya, dan karena itu statusnya sebagai buron tak berubah. Perintah cegah ke luar negeri (cekal) untuk dia juga masih aktif. Artinya pemerintah masih mengira Agus Anwar berstatus WNI.

Belakangan, beredar kabar kalau Agus Anwar sudah menjadi warga Negara Singapura sejak 2004. Paspornya bernomor E0887983B, dan beralamat di 15 Ardmore Park, #04-03 Singapore, 259959.

Tempo menemukan nama dua buron ini di dokumen Panama Papers dan menelusuri sepak terjang mereka selama di pelarian. Berbagai aktivitas bisnis mereka yang terungkap dari bocoran data Mossak Fonseca, seolah menunjukkan kalau mereka tengah berpesta di negeri orang, dengan uang yang seharusnya mereka kembalikan pada negara.

Setelah kabur dari Indonesia, Joko langsung dikenal sebagai pebisnis terkemuka di Papua Nugini. Tiga tahun setelah lolos dari jerat hukum, sang Joker resmi menjadi warga negara itu. Namanya pun berubah menjadi Joe Chan.

Joko S Tjandra

Dengan paspor Papua Nugini, Joe alias Joko bisa bebas keluar masuk negara lain. Saking seringnya keluar negeri, pada Mei 2014 lalu pemerintah Papua Nugini bahkan harus membuat paspor baru untuk Joe Chan. Buku paspornya sudah dipenuhi stempel keimigrasian dari manca negara. “Halaman paspornya sudah habis,” kata Kepala Imigrasi Papua Nugini kala itu, Mataio Rabura, seperti dikutip dari Post Courier.

Joko Tjandra memang disambut luar biasa hangat di Papua Nugini. Pada awal April 2016, tak kurang dari Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O'Neill yang terang-terangan berterimakasih atas kiprah Joe Chan alias Joko Tandjra membantu perekonomian negaranya dengan berbagai proyek pembangunan. Di sana, Joko Tjandra membangun bisnis properti, salah satunya di pusat pemerintahan Papua Nugini di Waigani senilai US$ 44,4 juta.

Ketika ditanya soal status hukum Joko yang jadi buron di Indonesia, O’Neill mengaku tak tahu menahu. “Kami tak pernah menerima permintaan pemulangan Joe Chan dari Pemerintah Indonesia,” kata O'Neill.

Dokumen Panama Papers dengan gamblang mengungkap luasnya skala bisnis Joko Tjandra. Ada sekitar 27 files yang berisi nama Joko Tjandra di data bocoran ini. Dokumen paling tua berasal dari 1986.

Pada tahun itu, Joko Tjandra dan dua saudaranya: Eka Tjandranegara dan Gunawan Tjandra, membentuk C+P Holdings Limited. Tanggal yang tertera pada dokumen adalah 3 November 1986. Tak ada keterangan mengenai apa bidang usaha perusahaan ini. Yang jelas, ada satu nama lagi dalam sertifikat pendirian C+P Holdings: konglomerat ternama Prayogo Pangestu.

Prayogo bukanlah nama sembarangan dalam jajaran pengusaha terkemuka di tanah air. Dengan bendera Barito Pacific, dia merupakan salah satu taipan yang besar dari bisnis kayu dan penguasaan hutan di era Orde Baru. Belakangan dia mendirikan PT Chandra Asri, yang bergerak di bisnis petrochemical.

Dari dokumen Panama Papers, terungkap kalau Prayogo dan Joko Tjandra punya relasi bisnis yang cukup dekat. Prayogo dan Joko Tjandra yang sama-sama berasal dari Kalimantan Barat itu mendirikan C+P Holdings dengan modal awal US$ 50 ribu, dengan nilai US$ 1 per saham. Prayogo menguasai 22.500 saham, dan Joko menguasai 14 ribu saham. Mereka berkantor di Citco Building, P.O. Box 662, Tortola, British Virgin Islands.

Prayogo Pangestu

Kongsi ini bertahan sampai dua dekade. Pada 2006, Joko menjual 4.000 lembar sahamnya kepada Prayogo. Dengan transaksi itu, alamat perusahaan juga ikut berubah. C+P kini berkantor di Akara Building, kantor yang sama dengan Mossack Fonseca di sana.

Pada awal April 2016 lalu, ketika dikonfirmasi soal kepemilikan perusahaan C+P, pengacara Hotman Paris Hutapea yang kerap menjadi kuasa hukum Prayogo, tak kunjung merespon pertanyaan Tempo. Dalam sejumlah kasus, Hotman Paris juga pernah menjadi pengacara untuk saudara Joko Tjandra, Gunawan Tjandra.

Jejak lain Joko Tjandra tercium pada sebuah dokumen lain bertanggal 11 Mei 2001. Di sana tercantum permintaan Joko pada Mossack Fonseca, untuk mendirikan sebuah perusahaan offshore bernama Shinc Holdings Limited di kawasan suaka pajak.

Shinc tercatat beralamat di Akara Building, Tortola, British Virgin Islands, yang juga alamat kantor Mossack Fonseca dan C+P Holdings di British Virgin Islands. Sertifikat Shinc mencantumkan modal awal perusahaan sebesar US$ 50 ribu, dengan harga US$ 1 per saham. Di sertifikat itu, Joker menggunakan alamat rumahnya di Jalan Simprug Golf 1 Kavling 89, Jakarta Selatan. Di awal pendirian Shinc, Joko adalah pemilik tunggal sekaligus menjabat direktur perusahaan.

Sepuluh tahun kemudian, pada Agustus 2012, atau tiga tahun setelah Joko Tjandra dinyatakan buron di Indonesia, ada email dari sebuah perusahaan investasi pada Mossack Fonseca. Mengklaim mewakili Joko, perusahaan itu meminta Mossack mengubah komposisi saham Shinc yang dikuasai Joko Tjandra.

Dokumen Panama Papers menunjukkan bahwa Mossack Fonseca kemudian mengurus administrasi penyerahan kepemilikan Shinc dari Joko kepada kedua putrinya, Joanne Soegiarto Tjandranegara dan Jocelyne Soegiarto Tjandra alias Jocy. Pada sertifikat perusahaan itu, kedua putrinya juga menggunakan alamat rumah yang sama dengan Joko Tjandra, di Simprug Golf, Jakarta Selatan.

Yang menarik, nama Joko tak dihapus dari sertifikat kepemilikan baru Shinc. Dia disebut sebagai anggota perusahaan. Sementara Jocy dan Joanne sama-sama menjabat direktur. Tidak ada yang menjabat komisaris. Yang juga tak kalah menarik, Joko minta agar perubahan kepemilikan ini dibuat bertanggal mundur (backdated). Meski perubahan terjadi pada 22 Agustus 2012, Joko minta dokumen yang ada mencantumkan tanggal 10 Januari 2012.

Jocelyne dan Joanne, dua anak kandung Joko Tjandra, tak bias diwawancara. Penjaga rumah mereka di Jalan Simprug Golf 1, Jakarta Selatan, tak mau menerima surat permohonan wawancara yang disodorkan, Rabu, 6 April 2016. Ia beralasan majikannya berada di luar negeri.

Di hari yang sama Tempo mengantarkan surat permohonan wawancara itu ke kantor mereka di lantai 53 Wisma Mulia, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Namun petugas di kantor itu juga menolak menerima surat wawancara itu.

Kabur ke Singapura dan menjadi warga negara di sana, rupanya tak membuat perangai Agus Anwar berubah. Dia tetap terbelit utang, dan menolak membayar cicilan pembayaran. Agus akhirnya dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan Negeri Singapura setelah gagal membayar utangnya sebesar Sin$ 103,3 juta, atau senilai Rp 1,3 triliun. Kabar ini dilansir sebuah koran Singapura pada 4 Maret 2011.

Untuk mengembalikan utangnya, pengadilan menyita saham milik Agus Anwar di beberapa bank swasta di Singapura. Tak ada informasi soal berapa nilai saham itu dan apakah semuanya sudah menutup triliunan utang Agus Anwar.

Yang jelas, besar kemungkinan, harta Agus Anwar tak hanya itu saja. Pasalnya, dokumen Panama Papers mengungkapkan bagaimana lihainya Agus membuat struktur perusahaan offshore di kawasan suaka pajak. Skema macam itu kerap digunakan orang atau perusahaan yang ingin menghindari pembayaran pajak atau kewajiban lain di negaranya. Terlebih Mossack Fonseca adalah salah satu firma hukum paling top, yang biasa menyamarkan kepemilikan sebuah perusahaan di suaka pajak, sampai nyaris tak terlacak.

Dari penelusuran Tempo, Agus memiliki setidaknya lima perusahaan cangkang. Perusahaan itu adalah Quants Global Limited, Gem City Capital Limited, Oakwell Pacific Limited, Oregon Holdings Group Limited, dan Viscorp International Group Limited. Umumnya dia pemilik tunggal perusahaan dan juga menjabat sebagai direktur perusahaan tersebut. Semua perusahaan itu rata-rata berdiri pada 2006 dan 2008, dengan menggunakan identitas Agus sebagai warga Singapura.

Arminsyah tampak tak kaget ketika diberitahu ada nama Joko Tjandra dan Agus Anwar dalam dokumen Panama Papers. Ia juga menyebutkan masih banyak pengusaha lain yang memiliki perusahaan di British Virgin Islands. Namun ia menolak berkomentar soal jumlah dan siapa saja mereka. Menurut dia, persoalan aset dan kekayaan para pengusaha yang disembunyikan di luar negeri, lebih tepat diurus instansi lain. “Kami hanya mengurus perkara hukumnya,” katanya.

Saat ditanya soal apa yang sudah dilakukan Kejaksaan Agung untuk mengejar aset dan kekayaan para buron itulah, staf Arminsyah menyela dan memberi isyarat pada atasannya, “Itu off the record,” katanya kemudian.


Tempo
Mustafa Silalahi
Inge Klara
Angelina Anjar




PANAMA PAPERS : Jejaring Sang Mafia Minyak



Dokumen The Panama Papers mengungkap bagaimana Muhammad Riza Chalid, orang kuat di balik transaksi minyak Zatapi yang merugikan Pertamina sebesar Rp 65,5 miliar pada 2008 silam, membangun jejaring perusahaan offshore di British Virgin Islands. Dari data pemilik saham perusahaan inilah, terungkap siapa yang menangguk untung ratusan triliun rupiah dari impor minyak via Petral selama bertahun-tahun.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said menutup bibirnya rapat-rapat. Sambil menggelengkan kepala, dia mengaku belum mau berkomentar. “Saya pelajari dulu,” katanya. Sudirman sedang berada di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, awal April 2016 lalu, ketika reporter Tempo bertanya soal apa tindakan pemerintah menghadapi sejumlah perusahaan energi yang membuat struktur perusahaan offshore di kawasan suaka pajak. “Saya belum mau berkomentar, saya pelajari dulu,” katanya menegaskan.

Keberadaan sejumlah perusahaan energi Indonesia di kawasan bebas pajak seperti British Virgin Islands terungkap dalam bocoran dokumen internal firma hukum Mossack Fonseca. Dokumen yang kini dikenal dengan nama The Panama Papers itu dipublikasikan serentak di seluruh dunia pada awal April 2016 oleh lebih dari 100 media. Penggagas kolaborasi global ini adalah The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Tempo adalah satu-satunya media dari Indonesia yang tergabung dalam konsorsium ini.

Dokumen The Panama Papers pertama kali diperoleh koran Jerman Suddeutsche Zeitung pada awal 2015. Data yang dikirimkan bertahap sampai mencapai 11,5 juta files ini mencakup nama lebih dari 200 ribu perusahaan offshore di 21 kawasan suaka pajak. Ada hampir 900 individu dan perusahaan yang berdomisili di Indonesia dalam daftar itu.

Sebuah nama yang sudah dikenal malang melintang di dunia perminyakan Indonesia tercantum jelas dalam dokumen The Panama Papers. Dia adalah Muhammad Riza Chalid.

Muhammad Riza Chalid

Nama tokoh misterius yang lebih suka menghindari media ini memang kerap muncul dalam sejumlah isu nasional yang kontroversial. Majalah Tempo yang pertama kali mengungkap keterlibatannya dalam skandal impor minyak Zatapi di Pertamina, pada Maret 2008.

Belakangan, nama Riza Chalid muncul dalam skandal korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri, skandal mafia impor minyak Petral sampai kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam kisruh perpanjangan kontrak Freeport di Papua.

Pada dokumen Panama Papers, nama Riza muncul sejak 1998 silam. Penelusuran Tempo menemukan sebuah sertifikat kepemilikan untuk perusahaan offshore bernama Epcots International Ltd yang ditandatangani oleh dua orang pendirinya yakni: Riza Chalid dan pengusaha Rosano Barack. Perusahaan offshore itu didirikan pada 2 Juli 1998, dua bulan setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Rosano Barack dikenal sebagai pengusaha yang dekat dengan Bambang Trihatmodjo, salah satu anak Soeharto. Mereka bersama-sama mendirikan PT Bimantara Citra pada 1981. Sampai sekarang, Rosano adalah Komisaris Utama PT Global Mediacom dan PT Media Nusantara Citra (MNC), konglomerasi media yang dikendalikan pebisnis Harry Tanoesoedibjo. Kelompok usaha itu memang mengakuisisi Bimantara pada 2007 silam.

Rosano Barack

Yang menarik, Riza Chalid dan Rosano Barack bukanlah pemilik semua saham Epcots International. Ada 10 nama lain yang disembunyikan dan hanya disebut sebagai ‘The Bearer’. Mereka semua menggunakan alamat yang sama, yakni Chartwells Management Services di Singapura. Itulah kelebihan yang ditawarkan firma hukum seperti Mossack Fonseca. Mereka bisa membuat struktur korporasi dengan kerahasiaan berlapis, yang membuat kepemilikan asli atau beneficial owner dari sebuah perusahaan, nyaris tak bisa dilacak.

Jejak terakhir Epcots terbaca pada Februari 2010 lalu. Kala itu, dua karyawan Mossack Fonseca bertukar e-mail, memastikan bahwa perusahaan offshore itu masih aktif beroperasi. Mereka juga menegaskan bahwa Epcots masih dikelola oleh Rosano dan Riza, dan bahwa perusahaan ini memiliki 50 ribu saham yang harga selembarnya hanya US$ 1,- saja. Yang menarik, dari total jumlah saham itu, Rosano dan Riza masing-masing hanya memiliki lima lembar saham.

Majalah Tempo edisi 24 Maret 2008 menulis sebuah laporan investigasi berjudul ‘Ada Tapi di Zatapi’. Liputan khusus yang dikerjakan selama lebih dari enam bulan itu dengan gamblang mengungkap persekongkolan sejumlah pengusaha minyak dengan oknum pejabat di Pertamina dalam jual beli minyak mentah campuran berkode ‘Zatapi’. Kongkalikong ini diperkirakan merugikan negara sekitar Rp 65,5 miliar.

Impor 600 ribu barel minyak Zatapi senilai US$ 58,6 juta (Rp 545,9 miliar pada kurs waktu itu) diatur secara lihai. Agar bisa lolos mengikuti tender di Pertamina, setiap pemasok harus mengirim crude oil assay atau uji kimia minyak mentah yang biasa dipakai untuk memperkirakan nilai ekonomisnya. Data tersebut kemudian diuji oleh sebuah program komputer bernama Generalized Refining Transportation Marketing Planning System (GRTMPS). Hanya jenis minyak yang lolos GRTMPS yang diperbolehkan bersaing dalam lelang.

Pada Desember 2007, sebuah proses lelang impor minyak sudah dijadwalkan. Tapi menjelang tenggat, data Zatapi belum juga diterima oleh Unit Optimalisasi Pertamina untuk dimasukkan ke komputer. Unit inilah yang berwenang menginput data minyak peserta tender.

Alih-alih didiskualifikasi, Zatapi malah melenggang ikut lelang. Adalah Chrisna Damayanto, ketika itu Vice President Perencanaan dan Pengelolaan Direktorat Pengolahan Pertamina, yang menginput data crude oil assay yang dia klaim sebagai milik Zatapi ke GRTMPS. Berkat campur tangan Chrisna, jenis minyak mentah campuran itu bisa ikut tender dan bahkan menang.

Menurut Chrisna, dia melakukan terobosan yang menguntungkan Pertamina. “Kalau keputusan ini tidak tepat, resikonya saya tanggung,” ujarnya ketika itu. Berbeda dengan perhitungan Tempo yang menghitung harga Zatapi kemahalan US$ 11,72 per barel, Chrisna mengklaim Pertamina meraup profit karena mendapat potongan US$ 2,28 per barel dari harga Tapis.

Pasca laporan investigasi itu terbit, Maskas Besar Kepolisian RI sempat menetapkan lima orang tersangka dari Pertamina maupun perusahaan pemasok Zatapi. Belakangan kasus mereka dihentikan lantaran audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan tidak ada kerugian negara dalam kasus impor Zatapi.

Siapakah orang-orang di balik impor Zatapi? Pembelian minyak campuran itu dikendalikan oleh sebuah perusahaan bernama Gold Manor International Ltd. Perusahaan itu dikelola oleh Muhamad Riza Chalid, Johnny Gerard Plate, Irawan Prakoso dan Schiller Marganda Napitupulu. Selain menggunakan bendera Gold Manor, mereka juga beroperasi dengan nama Global Energy Resources Pte. Ltd. Di Singapura, alamat Gold Manor sama dengan Global Energy, yakni di 1 Kim Seng Road, #15-01, East Tower, Great World City.

Johnny Gerard Plate

Selama bertahun-tahun, Global Energy adalah pemasok utama minyak ke tanah air. Laporan Kajian Restrukturisasi Pertamina pada 16 Juli 2007 mengungkapkan bahwa Global Energy merupakan pemasok terbesar (33,3 persen) minyak mentah ke Pertamina Energy Services Ltd. (PES) di Singapura. Pertamina Energy Services (PES) adalah anak usaha Pertamina Energy Trading Limited (Petral). Semua impor minyak ke Indonesia memang waktu itu diatur oleh Petral.

Siapa pemilik Gold Manor dan Global Energy? Sulit diendus jejaknya. Pasalnya, kedua perusahaan ini merupakan perusahaan offshore yang didaftarkan di British Virgin Islands. Tempo hanya bisa melacak pemilik Global Energy sampai lapis kedua yakni sebuah perusahaan cangkang lain bernama Orion Oil Limited. Tapi siapa di balik Orion Oil tetap jadi misteri. Nama perusahaan-perusahaan ini tak ada di Panama Papers.

Setelah skandal Zatapi terkuak, rupanya peruntungan Riza Chalid tak serta merta terpuruk. Dia tetap mengendalikan impor minyak Pertamina, lewat Global Energy Resources. Hal ini baru terungkap pada November 2015 lalu, ketika Menteri Energi Sudirman Said menyewa jasa sebuah kantor auditor internasional untuk memeriksa Petral.

KordaMentha adalah nama auditor yang disewa pemerintah. Mereka berkantor di Australia. Setelah menelisik ribuan dokumen dan mewawancarai sejumlah tokoh kunci, KordaMentha menyimpulkan bahwa impor minyak Indonesia lewat PES dan Petral, merugikan negara lebih dari Rp 100 triliun.

Modus para mafia minyak itu kini terungkap jelas. Dalam laporan audit KordaMentha yang tebalnya mencapai 370 halaman, auditor mengungkapkan bagaimana Global Energy dan sebuah perusahaan lain bernama Veritaoil selalu bertindak curang dalam tender-tender Petral sejak 2012.

Sejak awal, sebelum tender dibuka, kedua perusahaan ini sudah mendapatkan semua data rahasia proses pengadaan, termasuk harga perkiraan sendiri untuk tender minyak yang akan berlangsung.

Data rahasia tersebut bocor dengan bantuan orang dalam Pertamina, melalui sebuah grup e-mail bernama trading88@ymail.com. Auditor mencurigai lima staf PES terlibat persekongkolan untuk membocorkan informasi tersebut. Berdasarkan informasi itu, Presiden Joko Widodo memerintahkan Pertamina menutup Petral.

Penelusuran Tempo atas nama Gold Manor, Global Energy Resources dan Orion Oil di Panama Papers memang berakhir buntu. Tak ada informasi soal ketiga perusahaan offshore ini di dokumen bocor Mossack Fonseca. Amat mungkin pendirian ketiga perusahaan itu tidak menggunakan jasa Mossack Fonseca.

Akan tetapi, pelacakan atas jejak pebisnis minyak yang mengelola tiga perusahaan itu membuahkan hasil. Nama Muhamad Riza Chalid, Johnny Gerard Plate, dan Irawan Prakoso, bertebaran di dokumen Panama Papers. Hanya nama Direktur Utama Gold Manor, Schiller Napitupulu, yang absen.

Irawan Prakoso adalah Direktur Global Energy Resources. Di Panama Papers, terungkap kalau dia juga punya saham di sebuah perusahaan offshore bernama Twinn International Ltd yang juga berkedudukan di BVI. Perusahaan satu dolar AS milik Irawan ini berdiri pada 1 Juni 2007.

Sedangkan pelacakan atas nama Riza Chalid dan Johnny Gerard Plate, menemukan sebuah perusahaan offshore bernama Gainsford Capital Ltd. Di dalam perusahaan yang berkantor di British Virgin Islands tersebut, ada orang ketiga yang kerap disebut dalam percakapan internal.

Namanya Nai Song Kiat, seorang warga Singapura. Mengacu pada dokumen audit KordaMentha, Nai Song Kiat merupakan Direktur Veritaoil Pte Ltd. Perusahaan Nai termasuk yang dituduh menjarah Petral selama bertahun-tahun.

ID Card Nai Song Kiat

Gainsford didirikan di British Virgin Island pada 2001. Modal dasar perusahaan ini US$ 50 ribu, yang dipecah dalam 50 ribu lembar saham biasa. Tujuh tahun kemudian, pada 8 April 2008, Riza Chalid dan Johnny Plate memutuskan untuk mengalihkan saham mereka, masing-masing 75 dan 25 lembar, kepada Nai Song Kiat.

Tak hanya menyerahkan saham pada Nai Song, pada April 2008 itu, para pemegang saham juga menunjuk seorang direktur baru, menggantikan pejabat lama, Fernandez Patrick Charles. Direktur baru ini hanya punya satu nama: Eddie. Yang jelas, jika direktur lama adalah warga Singapura, maka penggantinya adalah orang Indonesia kelahiran Medan, Sumatera Utara.

Selain memiliki Gainsford Ltd, Johnny Plate juga tercatat sebagai pemilik Serenity Capital Ltd, sebuah perusahaan offshore yang beralamat di British Virgin Island. Tapi soal ini, Johnny Plate membantah. “Kenal aja enggak. Enggak ada aset. Urusan apa kita,” kata Johnny.

Yang sepak terjangnya paling lincah memang Riza Chalid sendiri. Menurut dokumen Panama Papers, dia memiliki beberapa perusahaan di kawasan suaka pajak. Selain Gainsford, dia tercatat menjadi pemegang saham pada Tanc Pasific Ltd. Perusahaan ini dia miliki bersama sepuluh pemegang saham lain yang hanya ditandai dengan istilah “bearer”. Artinya, pemilik asli perusahaan itu keberatan jika namanya disebut.

Nama Riza Chalid juga muncul sebagai pemilik atau pemegang saham perusahaan cangkang lain seperti Sunrich Capital Ltd dan Cresswell International Ltd. Di perusahaan yang disebut terakhir, Riza berbagi saham dengan anaknya: Muhammad Kerry Adrianto.

Ihwal kepemilikan saham putra Riza terungkap pada November 2007, ketika Mossack Fonseca mengirim email pada Riza Chalid. Isinya adalah penegasan bahwa pada tanggal itulah, Muhammad Kerry Adrianto, putra sulung Riza Chalid, resmi mendapat pengalihan saham Cresswell. Dia hanya perlu membayar US$ 490 untuk 490 lembar saham, karena harga selembar saham perusahaan itu memang hanya US$ 1,-. Meski begitu, Riza mempertahankan posisi strategis sebagai pemegang saham terbesar dengan 510 lembar.

Sayangnya upaya mengkonfirmasi data Panama Papers ini kepada Riza Chalid tidak membuahkan hasil. Riza menghilang sejak Kejaksaan Agung memanggilnya dalam kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo. Surat ke alamatnya, juga tidak dibalas.

Kepemilikan seseorang atas perusahaan offshore memang tidak serta merta bisa disebut pelanggaran hukum. Namun, tabir kerahasiaan dan perlindungan kawasan suaka pajak memungkinkan perusahaan offshore digunakan untuk menyembunyikan kekayaan dan kejahatan. Tanpa dokumen bocor The Panama Papers, sepak terjang orang-orang yang ditengarai melanggar hukum di daftar klien Mossack Fonseca bisa jadi tak akan pernah terungkap selamanya.


Laporan ini ditulis dan disiapkan oleh : Bastian Obermayer, Gerard Ryle, Marina Walker Guevara, Michael Hudson, Jake Bernstein, Will Fitzgibbon, Mar Cabra, Martha M. Hamilton, Frederik Obermaier, Ryan Chittum, Emilia Díaz-Struck, Rigoberto Carvajal, Cécile Schilis-Gallego,Marcos García Rey, Delphine Reuter,Matthew Caruana-Galizia, Hamish Boland-Rudder, Miguel Fiandor and Mago Torres.

Di Indonesia, tim Tempo yang terlibat adalah Wahyu Dhyatmika, Philipus Parera, Agoeng Widjaya dan Mustafa Silalahi. (*)






PANAMA PAPERS : Jejak Korupsi Global dari Panama (1)



Jutaan dokumen finansial dari sebuah firma hukum asal Panama, bocor dan mengungkapkan bagaimana jejaring korupsi dan kejahatan pajak para kepala negara, agen rahasia, pesohor sampai buronan, disembunyikan di surga bebas pajak

Sebuah kebocoran dokumen finansial berskala luar biasa mengungkapkan bagaimana 12 kepala negara (mantan dan yang masih menjabat) memiliki perusahaan di yuridiksi bebas pajak (offshore) yang dirahasiakan. Dokumen yang sama membongkar bagaimana orang-orang yang dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin mengatur transfer dana sebesar US$ 2 miliar lewat berbagai bank dan perusahaan bayangan.

Setidaknya ada 128 politikus dan pejabat publik dari seluruh dunia yang namanya tercantum dalam jutaan dokumen yang bocor ini. Mereka terkait dengan berbagai perusahaan gelap yang sengaja didirikan di wilayah-wilayah surga bebas pajak (tax havens).

Total catatan yang terbongkar mencapai 11,5 juta dokumen. Keberadaan semua data ini memberikan petunjuk bagaimana firma hukum bekerjasama dengan bank untuk menjajakan kerahasiaan finansial pada politikus, penipu, mafia narkoba, sampai miliuner, selebritas dan bintang olahraga kelas dunia.

Temuan itu merupakan hasil investigasi sebuah organisasi wartawan global, International Consortium of Investigative Journalists, sebuah koran dari Jerman SüddeutscheZeitung dan lebih dari 100 organisasi pers dari seluruh dunia. Satu-satunya media di Indonesia yang terlibat dalam proyek investigasi ini adalah Tempo.

Dokumen yang diperoleh konsorsium jurnalis global ini mengungkapkan keberadaan perusahaan di kawasan surga pajak (offshore companies) yang dikendalikan perdana menteri dari Islandia dan Pakistan, Raja Arab Saudi, dan anak-anak Presiden Azerbaijan.

Ada juga perusahaan gelap yang dikendalikan sedikitnya 33 orang dan perusahaan yang masuk daftar hitam pemerintah Amerika Serikat karena hubungan sebagian dari mereka dengan kartel narkoba Meksiko, organisasi teroris seperti Hezbollah atau terkoneksi dengan negara yang pernah mendapat sanksi internasional seperti Korea Utara dan Iran.

Satu dari perusahaan itu bahkan menyediakan bahan bakar untuk pesawat jet yang digunakan pemerintah Suriah untuk mengebom dan menewaskan ribuan warga negaranya sendiri. Demikian ditegaskan seorang pejabat pemerintah Amerika Serikat.

"Temuan ini menunjukkan bagaimana dalamnya praktek yang merugikan dan kejahatan di perusahaan-perusahaan yang sengaja didirikan di yuridiksi asing (offshore)," kata Gabriel Zucman, ekonomis dari University of California, Berkeley, AS dan penulis buku 'The Hidden Wealth of Nations: The Scourge of Tax Havens'.

Zucman yang mengetahui proses investigasi kebocoran dokumen ini menegaskan bahwa publikasi atas dokumen rahasia ini seharusnya mendorong pemerintah untuk bekerjasama memberikan sanksi tegas pada yurisdiksi dan institusi yang terlibat dalam jejaring kerahasiaan financial di dunia offshore.

Xi Jinping

Sejumlah nama kepala negara yang dikenal mendukung gerakan anti korupsi juga muncul dalam dokumen ini. Beberapa dokumen menunjukkan ada hubungan antara beberapa perusahaan offshore dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping, yang pernah bersumpah akan melawan para koruptor. Ada juga nama Presiden Ukraina Petro Poroshenko, yang selama ini selalu sesumbar dirinya adalah tokoh bersih di negaranya yang penuh skandal korupsi.

Bahkan, dokumen ini juga berisi detail mengenai sejumlah perjanjian bisnis yang melibatkan perusahaan offshore yang dilakukan ayah dari Perdana Menteri Inggris David Cameron. Belum lama ini, Cameron mendesak pemerintahnya untuk membersihkan wilayah surga bebas pajak di Inggris.

Data yang bocor berisi informasi sejak 40 tahun lalu, sejak 1977 sampai awal 2015. Keberadaan dokumen ini memungkinkan publik untuk mengintip bagaimana dunia offshore bekerja, bagaimana fulus gelap mengalir di dalam jagat finansial global secara rahasia, mendorong lahirnya banyak modus kriminalitas dan merampok pundi-pundi Negara dari pajak yang tak dibayarkan.

Kebanyakan jasa yang ditawarkan perusahaan offshore tidak melanggar hukum, jika digunakan oleh warga negara yang taat hukum. Namun dokumen ini menunjukkan bagaimana bank, kantor pengacara dan pelaku dunia usaha kerap tidak mengikuti prosedur hukum yang berlaku untuk memastikan klien mereka tidak terlibat korupsi, pelarian pajak atau kegiatan kriminal lainnya.

Bahkan, dalam beberapa kasus, ada perantara yang mencoba melindungi diri sendiri dan klien mereka dengan sengaja menyembunyikan transaksi mencurigakan atau memanipulasi catatan.

Jutaan dokumen ini menunjukkan bahwa bank-bank besar adalah motor utama di balik pendirian perusahaan-perusahaan di British Virgin Islands, Panama, dan surga bebas pajak lain, yang sulit dilacak penegak hukum. Ada daftar sekitar 15.600 perusahaan papan nama (paper companies) yang dibuatkan oleh bank untuk klien mereka yang ingin keuangan mereka tersembunyi. Di antara bank tersebut adalah UBS dan HSBC.

Pada satu bagian dari catatan yang bocor ini, terungkap bagaimana bank, perusahaan dan sejumlah orang yang terkait dengan pemimpin Rusia Vladimir Putin, bermanuver secara tertutup untuk memindahkan uang dalam jumlah besar. Pada satu transaksi, fulus yang digerakkan mencapai US$ 200 juta.

Orang-orang Putin ini mencoba menyamarkan pembayaran, memundurkan tanggal dokumen ke masa lalu (backdated) dan dengan demikian, memupuk kekuasaan dan pengaruh di dalam industri media dan otomotif di Rusia.

Sayangnya, juru bicara Kremlin menolak berkomentar atas informasi ini. Pada 28 Maret 2016 lalu, juru bicara Kremlin menyerang konsorsium jurnalis ICIJ dan menuduh kelompok ini tengah mempersiapkan sebuah 'serangan informasi' pada Putin dan mereka yang dekat dengan tokoh ini.

Vladimir Putin

Dokumen bocor yang diperiksa beramai-ramai oleh sebuah tim yang terdiri dari 370 jurnalis dari 76 negara ini diketahui berasal dari sebuah firma hukum kecil namun amat berpengaruh di Panama yang bernama Mossack Fonseca. Firma ini memiliki kantor cabang di Hong Kong, Zurich, Miami dan 35 kota lain di seluruh dunia.

Firma ini adalah salah satu pembuat perusahaan cangkang (shell companies) terbaik di dunia. Perusahaan cangkang adalah sebuah struktur korporasi yang bisa digunakan untuk menyembunyikan kepemilikan asset perusahaan. Total ada 214.488 nama perusahaan offshore di dokumen yang bocor ini. Ratusan ribu perusahaan itu terhubung dengan orang-orang dari 200 negara. ICIJ akan mempublikasikan seluruh nama perusahaan ini pada awal Mei 2016.

Data ini mencakup email, tabel keuangan, paspor dan catatan pendirian perusahaan, yang mengungkapkan identitas rahasia dari pemilik akun bank dan perusahaan di 21 wilayah/yuridiksi offshore, mulai dari Nevada, Singapura sampai British Virgin Islands.

Jejak Mossack Fonseca bisa terlacak di perdagangan berlian di Afrika, pasar lukisan dan barang seni lain berskala internasional, dan bisnis lain yang kerap bergerak di kegelapan. Firma ini juga melayani banyak keluarga kerajaan dan emir di Timur Tengah. Mereka membantu dua raja: Raja Mohammed VI dari Maroko dan Raja Salman dari Saudi Arabia. Di Islandia, dokumen yang bocor ini menunjukkan bagaimana Perdana Menteri Sigmundur David Gunnlaugsson dan istrinya secara rahasia memiliki firma offshore yang merupakan pemegang surat utang sebuah bank di negara ini yang bernilai miliaran dolar, pada saat Islandia dilanda krisis ekonomi.

Dokumen yang ada juga berisikan keterangan mengenai seorang terpidana pencucian uang yang mengaku memberikan kontribusi sebesar US$ 50 ribu yang dipakai membayar perampok dalam skandal Watergate. Ada juga nama 29 miliuner yang termasuk daftar 500 orang terkaya dunia versi majalah Forbes. Tak ketinggalan ada pula nama Jackie Chan, bintang film ternama asal Cina, yang punya sedikitnya enam perusahaan di bawah pengelolaan Mossack Fonseca.

Di Indonesia, nama-nama para miliarder ternama yang setiap tahun masuk dalam daftar orang terkaya versi Forbes Indonesia juga bertebaran dalam dokumen Mossack Fonseca. Mereka membuat belasan perusahaan offshore untuk keperluan bisnisnya. Salah satunya adalah Sandiaga Uno, pebisnis terkemuka yang kini tengah mencalonkan diri menjadi calon Gubernur DKI Jakarta.

Ditanya soal ini, Sandiaga mempersilahkan media mempublikasikan nama-nama perusahaan offshore miliknya. "Saya memang punya rencana membuka semuanya karena saya sekarang dalam proses mencalonkan diri menjadi pejabat publik," katanya pada reporter Tempo, akhir Maret 2016 lalu.

Seperti banyak klien Mossack Fonseca lain, tidak ada bukti bahwa Jackie Chan atau Sandiaga Uno, menggunakan perusahaannya untuk tujuan tak terpuji. Memiliki perusahaan offshore bukanlah sesuatu yang otomatis ilegal. Untuk sejumlah transaksi internasional, memiliki perusahaan offshore bahkan merupakan sebuah pilihan yang logis secara bisnis.

Namun, dokumen Mossack Fonseca mengindikasikan bahwa klien dari firma itu meliputi penipu skema ponzi, mafia narkoba, penggelap pajak, dan setidaknya satu terpidana kasus pelecehan seks yang sedang dipenjara. Catatan menunjukkan bahwa ada satu pengusaha asal Amerika yang ditangkap setelah bepergian ke Rusia untuk berhubungan seks dengan anak-anak yatim piatu, sempat meneken sebuah dokumen untuk perusahaan offshore-nya, ketika dia sedang dipenjara di New Jersey.

Di Indonesia, dua nama yang kerap dicari penegak hukum untuk kepentingan penyidikan kasus korupsi, yakni Muhammad Riza Chalid dan Djoko Soegiarto Tjandra, juga tercantum dalam dokumen yang bocor ini.

Djoko S. Tjandra

Tak hanya itu, dokumen ini juga berisi detail baru mengenai skandal-skandal besar, mulai dari kisah perampokan emas legendaris di Inggris sampai skandal suap di organisasi sepakbola dunia, FIFA. Ada catatan yang mengungkap bahwa firma hukum milik Juan Pedro Damani, anggota Komisi Etik FIFA, memiliki relasi bisnis dengan tiga orang yang sudah didakwa terlibat dalam skandal suap FIFA: mantan Wakil Presiden FIFA Eugenio Figueredo dan ayah-anak Hugo dan Mariano Jinkis, yang dituduh menyuap FIFA untuk memenangkan hak siar semua pertandingan sepakbola di Amerika Latin.

Kantor Damiani di Uruguay tercatat mewakili satu perusahaan offshore yang terkait keluarga Jinkis dan tujuh perusahaan yang terkait dengan Figueredo. Ketika dimintai konfirmasi, Komisi Etik FIFA merespon dengan mengadakan penyelidikan awal atas hubungan Damiani dan Figueredo.

Juru bicara komisi ini menjelaskan bahwa Damiani memberitahu mereka soal hubungan bisnisnya dengan Figueredo pada 18 Maret 2016. Itu tepat satu hari setelah reporter mengirimkan pertanyaan pada Damiani mengenai hubungan antara kantor pengacaranya dan perusahaan yang terkait dengan mantan Wakil Presiden FIFA.

Nama pesepakbola terbaik dunia, Lionel Messi, juga ada dalam dokumen ini. Catatan menunjukkan Messi dan ayahnya merupakan pemilik sebuah perusahaan di Panama: Mega Star Enterprises Inc. Perusahaan ini menambah daftar perusahaan cangkang milik Messi yang sedang diselidiki di Spanyol atas tuduhan penggelapan pajak.

Lionel Messi

Ada indikasi bahwa Mossack Fonseca memang bekerja keras untuk melindungi rahasia kliennya, tak peduli klien mereka orang terkenal atau tidak. Di Nevada, satu negara bagian di Amerika Serikat, firma ini mencoba melindungi diri dan kliennya dari dampak upaya hukum di pengadilan distrik Amerika Serikat, dengan memindahkan semua berkas dokumen perusahaan itu dari kantornya dan meminta bantuan ahli teknologi untuk membersihkan jejak elektronik dari komunikasi mereka di semua komputer dan telepon kantor.

Dokumen yang bocor ini juga menunjukkan bagaimana Mossak secara teratur menawarkan klien mereka untuk membuatkan dokumen dengan tanggal mundur (backdated documents) untuk membantu klien mereka mendapatkan keuntungan dari berbagai perjanjian bisnis mereka. Jasa semacam itu amat biasa ditawarkan hingga pada sebuah komunikasi email pada 2007, para karyawan Mossack membicarakan struktur harga khusus untuk para klien yang minta tanggal dokumen mereka dimundurkan. Setiap satu bulan ke belakang dalam penetapan tanggal dokumen perusahaan mereka, klien harus membayar US$ 8,75 pada Mossack.

Ketika dikonfirmasi, Mossack Fonseca menegaskan bahwa perusahaan mereka, "tidak melindungi atau mendukung aktivitas ilegal apapun. Tuduhan Anda bahwa kami menyediakan struktur yang sengaja didesain untuk menyembunyikan identitas pemilik aslinya sama sekali tidak berdasar dan keliru."

Firma ini juga menegaskan bahwa praktek membuat tanggal mundur dari sebuah dokumen merupakan "praktek yang punya dasar kuat dan diterima dalam industri kami dan tujuannya bukan untuk menutupi atau menyembunyikan kegiatan yang melanggar hukum." Selain itu, Mossack juga menolak berkomentar atas klien mereka secara spesifik karena mereka wajib menjaga kerahasiaan kliennya.

Salah satu pendiri Mossack, Ramon Fonseca, dalam sebuah wawancara di televisi Panama belum lama ini menegaskan bahwa perusahaannya tidak punya tanggung jawab atas apapun yang dilakukan kliennya menggunakan perusahaan offshore yang dijual oleh Mossack. Dia membandingkan Mossack dengan sebuah pabrik mobil yang batas tanggung jawab hukumnya (liability) selesai ketika mobil keluar dari pabrik itu.

Menyalahkan Mossack Fonseca atas semua perilaku pemilik perusahaan yang dibantu Mossack, menurut Ramon, sama saja dengan menyalahkan pabrik mobil ketika mobil yang mereka produksi, dipakai untuk merampok.


Sampai belum lama ini, Mossack Fonseca memang hampir selalu beroperasi dalam bayangan. Baru belakangan ada tanda-tanda munculnya upaya pengawasan atas perusahaan ini. Perubahan positif ini terjadi setelah sejumlah pemerintahan mendapatkan bocoran dokumen tentang praktek yang terjadi di dalam Mossack. Otoritas di Jerman dan Brasil misalnya, sudah mulai bergerak menyelidiki beberapa praktek bisnis Mossack di negara mereka.

Pada Februari 2015, koran Jerman SüddeutscheZeitung memberitakan bahwa penegak hukum di sana menggeledah kantor bank terbesar Jerman, Commerzbank, dalam kasus penggelapan pajak yang menurut otoritas Jerman bisa berujung pada penetapan sejumlah karyawan Mossack Fonseca jadi  tersangka kasus kriminal.

Kantor Mossack Fonseca di British Virgin Islands
Di Brasil, Mossack Fonseca sedang diincar dalam kasus penyuapan dan pencucian uang dalam sebuah operasi yang dikenal dengan nama operasi 'Car Wash' atau 'Lava Jato' dalam bahasa Portugis. Operasi ini sudah menjerat sejumlah politikus ternama di Brasil dan kini mengarah pada mantan Presiden Luiz Inacio Lula da Silva. Bahkan, skandal ini disebut-sebut mengancam posisi Presiden Brasil saat ini, Dilma Rousseff.

Pada Januari 2016, jaksa Brasil menyebut Mossack Fonseca sebagai perusahaan 'pencucian uang besar' dan mengumumkan bahwa kejaksaan telah menetapkan lima pegawai kantor Mossack di Brasil sebagai tersangka atas peran mereka dalam skandal ini. Mossack sendiri membantah mereka terlibat pelanggaran hukum di sana.

Informasi yang terkuak dari kebocoran dokumen ini memperluas secara dramatis semua proyek investigasi yang pernah dikerjakan ICIJ mengenai perusahaan offshore selama empat tahun terakhir. Dalam sebuah kolaborasi jurnalisme global terbesar yang pernah ada, jurnalis yang bekerja dalam 25 bahasa berbeda, menggali semua data Mossack dan melacak jejak transaksi rahasia firma ini dengan klien-kliennya di seluruh dunia. Para jurnalis saling berbagi informasi dan memburu petunjuk yang disediakan oleh dokumen bocor ini dengan menggunakan database korporasi, catatan properti, laporan keuangan, berkas perkara pengadilan dan wawancara dengan penegak hukum.

Adalah para reporter di SüddeutscheZeitung yang pertama kali memperoleh jutaan data ini dan membaginya dengan ICIJ dan semua media dalam kolaborasi ini. Tak ada media yang diminta membayar untuk memperoleh dokumen ini.

Sebelum SüddeutscheZeitung memperoleh dokumen ini, aparat pajak di Jerman sebenarnya sudah membeli sebagian kecil dokumen serupa dari seorang pembocor. Dokumen itu kemudian berujung pada sejumlah operasi penggeledahan di Jerman pada awal 2015. Dokumen ini kemudian ditawarkan pada otoritas pajak di Inggris, Amerika Serikat dan sejumlah negara lain. Demikian diungkapkan seorang sumber yang mengetahui ihwal perkara ini.

Dokumen yang menjadi sumber laporan ini menawarkan lebih dari sekadar potongan informasi mengenai cara kerja sebuah firma hukum, atau katalog dari klien mereka. Informasi dari dokumen ini membuat publik bisa memahami sebuah industri yang selama ini berusaha keras menutupi semua praktek bisnisnya.

Data ini juga memberi petunjuk mengapa berbagai usaha untuk mereformasi sistem keuangan semacam ini, selalu gagal. Kisah mengenai Mossack Fonseca ini adalah kisah mengenai seluruh sistem offshore itu sendiri.


bersambung ……



Laporan ini ditulis dan disiapkan oleh : Bastian Obermayer, Gerard Ryle, Marina Walker Guevara, Michael Hudson, Jake Bernstein, Will Fitzgibbon, Mar Cabra, Martha M. Hamilton, Frederik Obermaier, Ryan Chittum, Emilia Díaz-Struck, Rigoberto Carvajal, Cécile Schilis-Gallego,Marcos García Rey, Delphine Reuter,Matthew Caruana-Galizia, Hamish Boland-Rudder, Miguel Fiandor and Mago Torres.

Di Indonesia, tim Tempo yang terlibat adalah Wahyu Dhyatmika, Philipus Parera, Agoeng Widjaya dan Mustafa Silalahi. 





Link Banner

PERBANKAN

REVIEW

KASUS BISNIS

HALAL CORNER

KAJIAN MUSLIM

RENUNGAN

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH INDONESIA

SEJARAH DUNIA

EDITORIAL

DESTINASI INDONESIA

DESTINASI MANCANEGARA