Sabtu, 23 April 2016

PANAMA PAPERS : Pesta Rahasia Para Buronan



Nama dua buronan penegak hukum Indonesia muncul bersama 11,5 juta dokumen lain dalam The Panama Papers. Lenyap dari Indonesia, dua pengusaha yang sudah divonis dalam kasus korupsi, Joko Soegiarto Tjandra dan Agus Anwar, terlacak aktif berbisnis lewat perusahaan cangkang (shell companies) yang dilindungi tabir kerahasiaan di kawasan suaka pajak. Bisa jadi petunjuk baru membuka skandal BLBI.

Seorang staf senior Kejaksaan Agung mendadak menyela penjelasan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah. Menatap atasannya dengan penuh arti, dia berbisik, “Off the record.” Arminsyah terdiam sebentar. Dia sedang menjawab pertanyaan reporter Tempo soal apa saja yang sudah dilakukan aparatur penegak hukum untuk melacak harta kekayaan pengusaha buron Joko Soegiarto Tjandra, pada Kamis siang, 7 April 2016 itu, ketika bawahannya mengingatkan. “Soal itu, kami tidak bias menjawab,” kata Arminsyah kemudian.

Jajaran Kejaksaan Agung memang pantas bersikap ekstra hati-hati. Kegagalan mereka membawa pulang dua buron kelas kakap, Joko Tjandra dan Agus Anwar, sejak kabur bertahun-tahun lalu, sedang jadi sorotan lagi. Pasalnya, dua nama pebisnis yang sudah divonis dalam kasus korupsi ini, belakangan tercantum dalam dokumen bocoran firma hukum Panama, Mossack Fonseca. Informasi tentang dua buron ini terselip dalam data sebesar 2,6 terabyte dalam The Panama Papers. Data yang pertama kali bocor pada koran Jerman Suddeutsche Zeitung ini dipublikasikan serentak oleh 100 media di seluruh dunia di bawah koordinasi The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Tempo adalah satu-satunya media di Indonesia yang memperoleh data bocoran ini.

Kepada Tempo, Arminsyah mengaku para jaksa masih memantau aktivitas Joko Tjandra selama di pelarian. Joker, begitu aparatur penegak hokum menjuluki pengusaha ini, kini berdomisili di Papua Nugini dan kerap pergi ke Singapura, Hongkong, Australia hingga Cina. Kalau sudah tahu, mengapa tidak ditangkap?

“Dia tahu kalau sedang diincar, jadi sudah mempersiapkan segalanya sebelum berkunjung,” kata Arminsyah. Pergi ke manapun, kata dia, Joko selalu dikawal ketat orang-orang dekatnya. Selain itu, kata Arminsyah, anggaran Kejaksaan amat terbatas. Dua faktor itu membuat pengejaran para buron kakap ini jadi tersendat.

Joko Tjandra, 66 tahun, adalah buronan Kejaksaan Agung untuk kasus cessie (hak tagih) Bank Bali senilai Rp 546 miliar. Kasus itu terjadi pada 1999 lalu. Joko kabur dari bandara Halim Perdanakusuma dengan menggunakan pesawat carteran pada 9 Juni 2009 menuju Papua Nugini. Itu persis sehari sebelum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM menyatakan bapak empat anak itu dilarang bepergian ke luar negeri. Kedekatan jarak antara waktu pelarian Joko dan penerbitan perintah cekal membuat banyak orang mencium bau amis kongkalikong.

Sementara Agus Anwar, 60 tahun, adalah mantan Direktur Bank Pelita dan Istimarat yang menikmati Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di puncak krisis ekonomi Indonesia pada 1998 silam. Setelah menolak membayar dana talangan negara sebesar Rp 550 miliar, Agus menghilang. Konon dia kabur ke Singapura. Kejaksaan mengatakan baru 70 persen dari uang itu yang dibayarkan Agus pada negara.

Pada 18 September 2012, Menteri Keuangan (waktu itu) Agus Martowardojo mengatakan Agus Anwar masih belum membayar utangnya, dan karena itu statusnya sebagai buron tak berubah. Perintah cegah ke luar negeri (cekal) untuk dia juga masih aktif. Artinya pemerintah masih mengira Agus Anwar berstatus WNI.

Belakangan, beredar kabar kalau Agus Anwar sudah menjadi warga Negara Singapura sejak 2004. Paspornya bernomor E0887983B, dan beralamat di 15 Ardmore Park, #04-03 Singapore, 259959.

Tempo menemukan nama dua buron ini di dokumen Panama Papers dan menelusuri sepak terjang mereka selama di pelarian. Berbagai aktivitas bisnis mereka yang terungkap dari bocoran data Mossak Fonseca, seolah menunjukkan kalau mereka tengah berpesta di negeri orang, dengan uang yang seharusnya mereka kembalikan pada negara.

Setelah kabur dari Indonesia, Joko langsung dikenal sebagai pebisnis terkemuka di Papua Nugini. Tiga tahun setelah lolos dari jerat hukum, sang Joker resmi menjadi warga negara itu. Namanya pun berubah menjadi Joe Chan.

Joko S Tjandra

Dengan paspor Papua Nugini, Joe alias Joko bisa bebas keluar masuk negara lain. Saking seringnya keluar negeri, pada Mei 2014 lalu pemerintah Papua Nugini bahkan harus membuat paspor baru untuk Joe Chan. Buku paspornya sudah dipenuhi stempel keimigrasian dari manca negara. “Halaman paspornya sudah habis,” kata Kepala Imigrasi Papua Nugini kala itu, Mataio Rabura, seperti dikutip dari Post Courier.

Joko Tjandra memang disambut luar biasa hangat di Papua Nugini. Pada awal April 2016, tak kurang dari Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O'Neill yang terang-terangan berterimakasih atas kiprah Joe Chan alias Joko Tandjra membantu perekonomian negaranya dengan berbagai proyek pembangunan. Di sana, Joko Tjandra membangun bisnis properti, salah satunya di pusat pemerintahan Papua Nugini di Waigani senilai US$ 44,4 juta.

Ketika ditanya soal status hukum Joko yang jadi buron di Indonesia, O’Neill mengaku tak tahu menahu. “Kami tak pernah menerima permintaan pemulangan Joe Chan dari Pemerintah Indonesia,” kata O'Neill.

Dokumen Panama Papers dengan gamblang mengungkap luasnya skala bisnis Joko Tjandra. Ada sekitar 27 files yang berisi nama Joko Tjandra di data bocoran ini. Dokumen paling tua berasal dari 1986.

Pada tahun itu, Joko Tjandra dan dua saudaranya: Eka Tjandranegara dan Gunawan Tjandra, membentuk C+P Holdings Limited. Tanggal yang tertera pada dokumen adalah 3 November 1986. Tak ada keterangan mengenai apa bidang usaha perusahaan ini. Yang jelas, ada satu nama lagi dalam sertifikat pendirian C+P Holdings: konglomerat ternama Prayogo Pangestu.

Prayogo bukanlah nama sembarangan dalam jajaran pengusaha terkemuka di tanah air. Dengan bendera Barito Pacific, dia merupakan salah satu taipan yang besar dari bisnis kayu dan penguasaan hutan di era Orde Baru. Belakangan dia mendirikan PT Chandra Asri, yang bergerak di bisnis petrochemical.

Dari dokumen Panama Papers, terungkap kalau Prayogo dan Joko Tjandra punya relasi bisnis yang cukup dekat. Prayogo dan Joko Tjandra yang sama-sama berasal dari Kalimantan Barat itu mendirikan C+P Holdings dengan modal awal US$ 50 ribu, dengan nilai US$ 1 per saham. Prayogo menguasai 22.500 saham, dan Joko menguasai 14 ribu saham. Mereka berkantor di Citco Building, P.O. Box 662, Tortola, British Virgin Islands.

Prayogo Pangestu

Kongsi ini bertahan sampai dua dekade. Pada 2006, Joko menjual 4.000 lembar sahamnya kepada Prayogo. Dengan transaksi itu, alamat perusahaan juga ikut berubah. C+P kini berkantor di Akara Building, kantor yang sama dengan Mossack Fonseca di sana.

Pada awal April 2016 lalu, ketika dikonfirmasi soal kepemilikan perusahaan C+P, pengacara Hotman Paris Hutapea yang kerap menjadi kuasa hukum Prayogo, tak kunjung merespon pertanyaan Tempo. Dalam sejumlah kasus, Hotman Paris juga pernah menjadi pengacara untuk saudara Joko Tjandra, Gunawan Tjandra.

Jejak lain Joko Tjandra tercium pada sebuah dokumen lain bertanggal 11 Mei 2001. Di sana tercantum permintaan Joko pada Mossack Fonseca, untuk mendirikan sebuah perusahaan offshore bernama Shinc Holdings Limited di kawasan suaka pajak.

Shinc tercatat beralamat di Akara Building, Tortola, British Virgin Islands, yang juga alamat kantor Mossack Fonseca dan C+P Holdings di British Virgin Islands. Sertifikat Shinc mencantumkan modal awal perusahaan sebesar US$ 50 ribu, dengan harga US$ 1 per saham. Di sertifikat itu, Joker menggunakan alamat rumahnya di Jalan Simprug Golf 1 Kavling 89, Jakarta Selatan. Di awal pendirian Shinc, Joko adalah pemilik tunggal sekaligus menjabat direktur perusahaan.

Sepuluh tahun kemudian, pada Agustus 2012, atau tiga tahun setelah Joko Tjandra dinyatakan buron di Indonesia, ada email dari sebuah perusahaan investasi pada Mossack Fonseca. Mengklaim mewakili Joko, perusahaan itu meminta Mossack mengubah komposisi saham Shinc yang dikuasai Joko Tjandra.

Dokumen Panama Papers menunjukkan bahwa Mossack Fonseca kemudian mengurus administrasi penyerahan kepemilikan Shinc dari Joko kepada kedua putrinya, Joanne Soegiarto Tjandranegara dan Jocelyne Soegiarto Tjandra alias Jocy. Pada sertifikat perusahaan itu, kedua putrinya juga menggunakan alamat rumah yang sama dengan Joko Tjandra, di Simprug Golf, Jakarta Selatan.

Yang menarik, nama Joko tak dihapus dari sertifikat kepemilikan baru Shinc. Dia disebut sebagai anggota perusahaan. Sementara Jocy dan Joanne sama-sama menjabat direktur. Tidak ada yang menjabat komisaris. Yang juga tak kalah menarik, Joko minta agar perubahan kepemilikan ini dibuat bertanggal mundur (backdated). Meski perubahan terjadi pada 22 Agustus 2012, Joko minta dokumen yang ada mencantumkan tanggal 10 Januari 2012.

Jocelyne dan Joanne, dua anak kandung Joko Tjandra, tak bias diwawancara. Penjaga rumah mereka di Jalan Simprug Golf 1, Jakarta Selatan, tak mau menerima surat permohonan wawancara yang disodorkan, Rabu, 6 April 2016. Ia beralasan majikannya berada di luar negeri.

Di hari yang sama Tempo mengantarkan surat permohonan wawancara itu ke kantor mereka di lantai 53 Wisma Mulia, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Namun petugas di kantor itu juga menolak menerima surat wawancara itu.

Kabur ke Singapura dan menjadi warga negara di sana, rupanya tak membuat perangai Agus Anwar berubah. Dia tetap terbelit utang, dan menolak membayar cicilan pembayaran. Agus akhirnya dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan Negeri Singapura setelah gagal membayar utangnya sebesar Sin$ 103,3 juta, atau senilai Rp 1,3 triliun. Kabar ini dilansir sebuah koran Singapura pada 4 Maret 2011.

Untuk mengembalikan utangnya, pengadilan menyita saham milik Agus Anwar di beberapa bank swasta di Singapura. Tak ada informasi soal berapa nilai saham itu dan apakah semuanya sudah menutup triliunan utang Agus Anwar.

Yang jelas, besar kemungkinan, harta Agus Anwar tak hanya itu saja. Pasalnya, dokumen Panama Papers mengungkapkan bagaimana lihainya Agus membuat struktur perusahaan offshore di kawasan suaka pajak. Skema macam itu kerap digunakan orang atau perusahaan yang ingin menghindari pembayaran pajak atau kewajiban lain di negaranya. Terlebih Mossack Fonseca adalah salah satu firma hukum paling top, yang biasa menyamarkan kepemilikan sebuah perusahaan di suaka pajak, sampai nyaris tak terlacak.

Dari penelusuran Tempo, Agus memiliki setidaknya lima perusahaan cangkang. Perusahaan itu adalah Quants Global Limited, Gem City Capital Limited, Oakwell Pacific Limited, Oregon Holdings Group Limited, dan Viscorp International Group Limited. Umumnya dia pemilik tunggal perusahaan dan juga menjabat sebagai direktur perusahaan tersebut. Semua perusahaan itu rata-rata berdiri pada 2006 dan 2008, dengan menggunakan identitas Agus sebagai warga Singapura.

Arminsyah tampak tak kaget ketika diberitahu ada nama Joko Tjandra dan Agus Anwar dalam dokumen Panama Papers. Ia juga menyebutkan masih banyak pengusaha lain yang memiliki perusahaan di British Virgin Islands. Namun ia menolak berkomentar soal jumlah dan siapa saja mereka. Menurut dia, persoalan aset dan kekayaan para pengusaha yang disembunyikan di luar negeri, lebih tepat diurus instansi lain. “Kami hanya mengurus perkara hukumnya,” katanya.

Saat ditanya soal apa yang sudah dilakukan Kejaksaan Agung untuk mengejar aset dan kekayaan para buron itulah, staf Arminsyah menyela dan memberi isyarat pada atasannya, “Itu off the record,” katanya kemudian.


Tempo
Mustafa Silalahi
Inge Klara
Angelina Anjar




0 komentar:

Posting Komentar

Link Banner

PERBANKAN

REVIEW

KASUS BISNIS

HALAL CORNER

KAJIAN MUSLIM

RENUNGAN

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH INDONESIA

SEJARAH DUNIA

EDITORIAL

DESTINASI INDONESIA

DESTINASI MANCANEGARA