Senin, 21 Maret 2016

MINYAK, BIANG KERUSUHAN



Akhir tahun lalu, Indonesia telah resmi menjadi anggota OPEC (lagi). Kendati tidak murni sebagai eksporti minyak, toh kebanyakan minyak Indonesia diekspor, untuk kemudian diimpor kembali.

Jumlah yang diimpor, cukup banyak. Hitung saja  saat ini rata-rata kebutuhan bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 1,5 juta barel per hari. Dari jumlah itu, kapasitas produksi BBM di dalam negeri hanya 650.000 barel per hari. Selebihnya impor.

Total jenderal kita harus impor BBM dan minyak mentah 850.000 barrel. Makanya, ketika harga si emas hitam mencapai US$ 100 per barel, pemerintah kita menjerit. Sebab, itu berarti harus disediakan devisa US$ 85 juta atau sekitar Rp 1,1 triliun (jika dihitung dengan kurs Rp 13.300).

Makanya, ketika harga sedang menukik seperti sekarang (di kisaran US$ 32 per barel), Presiden Joko Widodo segera menginstruksikan Pertamina untuk membeli sebanyak mungkin. Soalnya, di atas kertas, ‘keuntungan’ yang diperoleh Indonesia lumayan banyak. “Waktu harga minyak murah semestinya dipikirkan Pertamina bagaimana bisa membeli stok sebanyak-banyaknya,” kata Jokowi.

Mantan Walikota Solo ini tak mempersoalkan stok tersebut mau ‘diparkir’ alias disimpan di dalam atau luar negeri. Setidaknya, Pertamina memiliki stok banyak untuk mengantisipasi di saat harga minyak kembali meroket.
Jika Indonesia sedikit bersuka dengan rendahnya harga, lain halnya dengan negara-negara eksportir murni yang selama ini mengandalkan pembangunan negerinya dari harga minyak. Pemerintahnya bingung, bagaimana harus membayar utang. Bahkan, beberapa fasilitas yang selama ini dinikmati rakyatnya sudah dipotong habis.

Belum lagi rating atau peringkat utang yang diturunkan Standard and Poor's. Setidaknya ada lima negera yang peringkat utangnya diturunkan, yakni Arab Saudi, Oman, Bahrain, Brazil dan Kazakhstan.

Arab Saudi, memang cukup terpukul dari anjloknya harga minyak dunia. Sebab, 75% pendapatan negara bersumber dari minyak. Akibat turunnya harga, anggaran Saudi mengalami kondisi sangat sulit alias defisit. “Dalam pandangan kami, penurunan harga minyak berdampak langsung ke kondisi lima negara yang isi fiskal dan indikator ekonomi Saudi karena ketergantungan sangat tinggi terhadap minyak,” tulis lembaga rating S&P.

Neraca keuangan Saudi mengalami defisit US$ 100 miliar di 2015. Tahun ini, Saudi memutuskan untuk memangkas 14% belanja negara. Kerajaan Saudi memproyeksi defisit anggaran bisa mencapai 13% dari GDP di 2016.
Sedangkan, S&P menilai penetapan anggaran Saudi masih mematok harga minyak US$ 41 per barel, namun faktanya harga minyak masih bertengger di angka US$ 31 per barel.

Kazakhstan juga menderita karena separuh pendapatan negara berasal dari ekspor BBM. Sepanjang 2015, mata uang Kazakhstan juga anjlok hampir 50% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Bahrain juga bernasib serupa. Hampir 75% pendapatan negara Arab ini datang dari minyak dan 60% ekspor Bahrain datang dari migas. Akibat kondisi ini, utang Bahrain ikut naik. S&P memproyeksi komposisi utang Bahrain bisa menyentuh 77% dari GDP di 2017.

Hal serupa menimpa negara Amerika Latin, Brazil. Negeri Samba ini, sangat terpukul karena turunnya harga minyak. IMF menilai pertumbuhan ekonomi Brasil kembali akan turun hampir 3,5% dari proyeksi awal hanya 1%.

Itu sebabnya, negara-negara tersebut sekarang sedang melakukan penghematan di segala bidang di samping juga meningkatkan pejak sebagai pemasukan. Dan pasar analis menilai ini langkah bagus. Namun, bisa memicu kerusuhan.


#ReviewWeekly
#BudiKusumah





0 komentar:

Posting Komentar

Link Banner

PERBANKAN

REVIEW

KASUS BISNIS

HALAL CORNER

KAJIAN MUSLIM

RENUNGAN

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH INDONESIA

SEJARAH DUNIA

EDITORIAL

DESTINASI INDONESIA

DESTINASI MANCANEGARA