Senin, 14 Maret 2016

SKANDAL MENARA BCA


Nama Grup Djarum kembali menarik perhatian. Tapi kali ini bukan lantaran pemiliknya, Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono kembali dinobatkan oleh majalah ekonomi bergengsi, Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia. Kali ini, lini bisnis Djarum tersangkut masalah.

Adalah pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski di area Hotel Indonesia yang dipersoalkan Kejaksaan Agung. Dalam perjanjian kerja sama build, operate, transfer (BOT) antara PT Cipta Karya Bersama Indah (CKBI) atau PT Grand Indonesia (GI) dengan PT Hotel Indonesia Natour (HIN), Menara BCA dan Apartemen Kempinski tak ada dalam kontrak perjanjian.

“Saya pernah sampaikan bahwa ini ada perjanjian membangun mal, parkir, tapi tidak membangun tower yang dua itu,” ujar Arminsyah, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus).

Menurut Arminsyah, Menara BCA dan Apartemen Kempinski dibangun di atas lahan milik negara, yakni BUMN PT Hotel Indonesia Natour. “Ada tindak pidananya. Ini baru kita naikan ke penyidikan,” tambah Arminsyah, Selasa pekan lalu.

Jampidsus mengatakan, ia tidak peduli Menara BCA dan Apartemen Kempinski milik pengusaha siapa. “Mau perusahaan siapa kek, nggak ada urusan. Kalau pembangunan itu diformalkan seharusnya ada pembayaran ke negara,” katanya.

Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memanggil sejumlah saksi dari tiga perusahaan yang terlibat dalam perjanjian, termasuk Direktur Utama HIN Iswandi Said. Selain itu, tim penyidik Kejagung juga telah menggeledah Menara BCA dan Apartemen Kempinski, Thamrin, Jakarta Pusat.

Dalam penggeledahan tersebut, tim penyidik Kejagung membawa sejumlah dokumen, seperti   risalah rapat terkait kerja sama BOT, dokumen pengembangan, proposal CKBI, dan rekap penerimaan kompensasi BOT.

Awal mula perkara ini bersumber dari perjanjian kerja sama BOT antara CKBI/GI dengan HIN yang ditandatangani pada 13 Mei 2004. Dalam perjanjian itu disepakati pembangunan empat objek fisik di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama GI, yakni hotel bintang lima  (42.815 m2), pusat perbelanjaan I seluas 80.000 m2, pusat perbelanjaan II seluas 90.000 m2 dan fasilitas parkir seluas 175.000 m2.

Tapi realisasi yang tertuang dalam berita acara penyelesaian pekerjaan tanggal 11 Maret 2009, ternyata ada tambahan bangunan gedung perkantoran (Menara BCA) dan apartemen (Kempinski).

Akibat penyalahgunaan itu, HIN kehilangan kompensasi penambahan dua bangunan komersial tersebut. Selain itu,  GI juga tidak kooperatif dan transparan menyampaikan laporan pemeliharaan dan tidak memberi rincian nilai biaya pemeliharaan.

Seharusnya alokasi biaya pemeliharaan sebesar 4% dari nilai pendapatan pengelolaan obyek BOT. Kondisi ini berpotensi merugikan  HIN yang akan menerima objek BOT di kemudian hari.

Penyalahgunan lainnya, opsi perpanjangan 20 tahun setelah masa BOT 30 tahun dengan ketentuan nilai kompensasi adalah Rp 400 miliar  atau 25%  dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Namun, pada praktiknya perpanjangan tidak lagi dengan CKBI,  tetapi dengan GI.

Parahnya lagi, dokumen persetujuan pengalihan dari CKBI ke GI hanya dalam perjanjian antar direksi, dan dokumen itu  saat ini hilang. Bukan itu saja, tanah negara itu kini telah diagunkan oleh GI ke Bank UOB.

Anehnya lagi, bekas Direktur Utama HIN kini menjadi Direktur Utama PT Menara Sarana Nusantara, Tbk, anak perusahaan Grup Djarum, yang kini sebagai pihak penyewa di lahan 7 hektar milik HIN. Seperti diketahui, kelompok Djarum kini menjadi pemegang saham mayoritas BCA.

Selain itu, ada masalah perpanjangan kontrak kerja sama. Awalnya, kontrak kerjasama hanya berlangsung selama 30 tahun dimulai dari 2004. Tapi pada 2010, kontrak kembali diperpanjang 20 tahun sehingga total kerjasamanya 50 tahun.

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, ada potensi kerugian negara sebesar Rp 1,29 triliun akibat pemanfaatan lahan yang tidak sesuai perjanjian.

Hanya saja, Komisaris HIN yang baru Michael Umbas mengatakan, temuan BPK itu dengan asumsi perpanjangan 20 tahun senilai Rp 400 miliar yang telah dibayarkan kepada direksi HIN yang lama. “Kompensasi Rp 400 miliar itu terlalu murah, perpanjangan itu 25% kali dari NJOP, sehingga NJOP 2014 seharusnya Rp 6 triliun. Nilai  NJOP kan naik terus.  Jadi ini akan lebih rugi lagi," katanya.

Sekadar mengingatkan, CKBI ditunjuk sebagai pengelola Hotel Indonesia sejak memenangi tender BOT Hotel Indonesia pada 2002. CKBI, yang merupakan anak usaha Grup Djarum, kemudian   membentuk GI untuk mengelola bisnis bersama HIN, dan memulai pengerjaan pada Maret 2004.

Dalam kerjasama BOT selama 30 tahun sejak 2004, pihak GI  menyiapkan dana sebesar Rp 1,65 triliun, untuk alokasi pembangunan fisik sebesar Rp 1,3 triliun dan Rp 355 miliar kompensasi ke negara. Sedangkan opsi penambahan BOT selama 20 tahun, GI mengucurkan dana Rp 444 miliar.

GI memulai pembangunan dengan menggabungkan fungsi pusat belanja, perkantoran, apartemen dan hotel sekaligus.

Untuk pusat belanja, kawasan ini menyediakan pusat belanja mewah dan hiburan seluas 250 ribu meter persegi yang terdiri atas delapan lantai. Mall terdiri dari dua blok, barat dan timur yang dihubungkan dengan jembatan.

Untuk hotel,  mendesain kembali Hotel Indonesia yang sudah dikenal sejak 1960. Hotel ini dikelola oleh Kempinski Group sehingga namanya pun diubah menjadi Hotel Indonesia-Kempinski. Hotel dengan 280 kamar ini menerapkan standar internasional, baik dari sisi pelayanan setara dengan The Raffles Singapura dan The Oriental Bangkok.

Selain hotel, GI  menggandeng RTKL untuk mendesain Apartemen Kempinski Residence yang memberikan fasilitas layanan dengan standar tinggi, juga memakai teknologi tinggi. Apartemen dengan 57 tingkat ini terdiri atas 190 unit. Yang tak kalah penting adalah Menara BCA. Ini menjadi salah satu pusat perkantoran salah satu bank yang dikendalikan oleh Grup Djarum, yakni Bank BCA, bank papan atas terbesar di Indonesia setelah Bank Mandiri dan BRI. Menara BCA merupakan salah satu gedung tertinggi di Jakarta yang menyatu dengan pusat belanja Grand Indonesia. Di lantai 11 dilengkapi dengan kolam renang dan pusat olahraga. Jika ingin melihat matahari terbenam, bisa menuju lantai 56 sembari menikmati menu restoran terbaik di Jakarta.

Tapi ya itu tadi, perjanjian itu ternyata melahirkan masalah. Bahkan, masalah ini sudah dipersoalkan sejak tahun 2012. Pada rapat dengar pendapat antara Komisi VI DPR dengan manajemen GI  tanggal 18 September 2012, Dewan sampai memutuskan membentuk Panitia Kerja (Panja) DPR untuk melakukan investigasi terhadap skema kerjasama HIN dengan GI.

Seiring perjalanan waktu, kerja Panja pun tak terdengar hasilnya, sampai kemudian Kejagung membuka kembali masalah ini.

Pakar hukum Universitas Brawijaya, Malang Prija Jatmika menyatakan, Kejagung dan KPK harus menjadikan kasus pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski sebagai pintu masuk untuk mengungkap keterlibatan kroni pengusaha dan pejabat dalam penyalahgunaan BOT aset milik negara.

Menurut Prija, kasus penyalahgunaan kontrak aset BUMN ini juga merupakan korupsi terencana yang telah merugikan keuangan negara triliunan rupiah. “Pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski di luar kontrak yang telah disepakati merupakan kejahatan yang luar biasa. Secara hukum harus diberlakukan sebagai tindak pidana korupsi, karena tidak mungkin tanpa sepengetahuan pejabat yang terkait”

Dia menambahkan, semua pengambil keputusan yang terlibat dalam BOT Hotel Indonesia harus ditindak. “Kasus ini harus menjadi entry point penyelidikan aset negara lain yang dikorupsi,” kata dia.

Presiden Joko Widodo kabarnya  telah meminta KPK untuk menyelidiki kasus penyalahgunaan BOT Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Sedangkan Kejagung masih mengumpulkan data terkait kasus yang telah merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah tersebut.



#ReviewWeekly


 
Pakar hukum Universitas Brawijaya, Malang Prija Jatmika menyatakan, Kejagung dan KPK harus menjadikan kasus pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski sebagai pintu masuk untuk mengungkap keterlibatan kroni pengusaha dan pejabat dalam penyalahgunaan BOT aset milik negara.
Menurut Prija, kasus penyalahgunaan kontrak aset BUMN ini juga merupakan korupsi terencana yang telah merugikan keuangan negara triliunan rupiah. “Pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski di luar kontrak yang telah disepakati merupakan kejahatan yang luar biasa. Secara hukum harus diberlakukan sebagai tindak pidana korupsi, karena tidak mungkin tanpa sepengetahuan pejabat yang terkait,” kata Prija seperti dikutip dari Koran Jakarta.
Dia menambahkan, semua pengambil keputusan yang terlibat dalam BOT Hotel Indonesia harus ditindak. “Kasus ini harus menjadi entry point penyelidikan aset negara lain yang dikorupsi,” kata dia.
Presiden Joko Widodo kabarnya  telah meminta KPK untuk menyelidiki kasus penyalahgunaan BOT Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Sedangkan Kejagung masih mengumpulkan data terkait kasus yang telah merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah tersebut.
- See more at: http://www.majalahreviewweekly.com/read/660/skandal-menara-bca#sthash.yrMzUA1j.dpuf

0 komentar:

Posting Komentar

Link Banner

PERBANKAN

REVIEW

KASUS BISNIS

HALAL CORNER

KAJIAN MUSLIM

RENUNGAN

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH INDONESIA

SEJARAH DUNIA

EDITORIAL

DESTINASI INDONESIA

DESTINASI MANCANEGARA