Rabu, 09 Maret 2016

YANGON - Setelah Bangkitnya Demokrasi


Jika melihat pemberitaan selama ini, Myanmar atau sebagian orang memilih menyebutnya Burma mengalami momen penting setiap tahunnya sejak bekas rezim militer membuka diri pada 2011.

Dengan bangkitnya demokrasi, inilah saat yang tepat untuk mengunjungi Burma. Dimulai dari Yangon, atau dulunya disebut Rangoon, kota yang sedang mengalami kebangkitan.

Sebelum jatuh ke tangan Inggris pada awal abad ke-18, Kerajaan Burma adalah salah satu yang terbesar di Asia Tenggara, dengan warisan arsitektur, sastra dan seni berusia 2.000 tahun. Sejarah dan kekayaan itu tersimpan di bagian tengah dan utara Burma, yakni di Bagan dan Mandalay. Ketika Ralph Fitch, orang Inggris pertama yang mengunjungi Burma, tiba tahun 1587, Rangoon adalah sebuah desa nelayan kecil, yang didominasi Pagoda Shwedagon yang dilapisi emas berkilauan.


Di bawah kekuasaan Inggris, 1824-1948, ketika Myanmar meraih kemerdekaannya, bangunan-bangunan megah dibangun di jalan-jalan di Yangon. Mungkin yang paling ikonis adalah bangunan bata besar yang dijadikan Gedung Sekretariat, di mana pada tahun 1947, Jenderal Aung San, bapak Myanmar modern dan ayah dari Daw Aung San Suu Kyi, dibunuh.

Junta militer, yang mengambil alih kekuasaan dan memerintah negara itu tahun 1962-2011, menghancurkan 35 persen dari pusat Yangon atau sekitar 1.800 bangunan, menurut Yangon Heritage Trust, untuk menciptakan ruang bagi pengembangan baru yang megah. Namun kini sebuah proyek pelestarian sedang berlangsung, dan di bawah pemerintahan demokratis yang baru terpilih, ada harapan 189 bangunan bersejarah yang tersisa bisa diselamatkan.

Selain itu ada harapan akan perubahan yang jauh lebih besar, dan optimisme nyata yang terasa sejak kembalinya demokrasi lima tahun lalu, menyelimuti jalan-jalan kumuh di kota yang dulunya megah ini. Atmosfernya yang menggairahkan sangat jelas terlihat di pagoda-pagoda di kota itu.


Pada Minggu sore masyarakat setempat yang bertelanjang kaki dan mengenakan pakaian terbaik mereka berziarah ke situs Buddha paling suci di Myanmar, yakni Pagoda Shwedagon yang berlapis emas berkilauan dan telah berusia 2.500 tahun. Mereka berlutut sejenak dan menyalakan lilin, menaruh dupa dan menyiramkan air ke kuil di dasar pagoda.

Walaupun pemalu, warga Burma sangat murah hati dan tidak pelit memberikan senyuman lebar dan hangat mereka. Dan kini kebahagiaan itu kian terlihat dari sinar mata mereka, kebahagiaan karena tak lagi berada di bawah kediktatoran represif sebelumnya. Ada rasa bahagia dan harapan yang merebak dan Anda bisa melihatnya dengan jelas di pagoda-pagoda di Burma. Mereka bersyukur karena doa-doa mereka untuk perdamaian, perubahan dan kemakmuran akhirnya terjawab.


Maret adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi Yangon. Ada Festival Tabaung, bulan terakhir dalam kalender Burma yang menandai akhir musim dingin. Secara tradisional, Tabaung di pedesaan adalah waktu berakhirnya panen dan petani bias beristirahat sejenak. Kapal-kapal pengangkut akan berlayar dan beragam festival lokal diadakan di tepi sungai yang dihiasi stupa-stupa dari pasir.

Di Yangon, pada pagi hari bulan purnama Tabaung, warga kota akan langsung menuju Pagoda Shwedagon untuk melakukan kebaikan dengan memberikan sedekah kepada para biksu Buddha. Tabaung tahun 2016 sepertinya bakal lebih meriah berkat perubahan dalam pemerintahan baru-baru ini, serta kegembiraan menyusul pemilu yang masih terasa hingga Tahun Baru.

Perubahan yang perlahan mulai meraih momentumnya setelah 2011, kini bergerak semakin cepat dan tidak hanya terlihat dari meningkatnya kedatangan wisatawan, tetapi juga pembangunan hotel-hotel baru, restoran, kafe, dan galeri-galeri yang bermunculan di sekitar kota.

Pembangunan dan kemakmuran yang menyertai perubahan ini paling jelas terlihat di Bahan (nama yang digunakan warga Burma untuk menyebut pinggiran kota mereka), di mana mobil-mobil mahal diparkir di jalan masuk rumah-rumah mewah, sementara pusat perbelanjaan bermunculan. Daerah tempat berdirinya Pagoda Shwedagon dan banyak pagoda serta kuil berkilauan lainnya, yang dinamakan “Golden Valley”, ini juga menjadi lokasi hunian warga kaya, konglomerat dan selebriti.

Dalam beberapa tahun terakhir, Yangon telah menyaksikan berbagai pembangunan mulai dari The Loft, sebuah hotel bergaya New York yang chic dan menjadi destinasi para hipster dan jetsetter, hingga Best Western yang menyasar kalangan pelancong bisnis. Kafe-kafe dan restoran modern, seperti Le Planteur, Rangoon Tea House, Gekko, Hummingbird, The Lab dan Port Autonomy dipadati pengunjung, baik lokal, ekspatriat, maupun wisatawan, yang menikmati koktail sambil menyantap beragam hidangan mulai dari masakan mewah Perancis sampai hasil olahan kreatif dari masakan tradisional Burma.


Seiring dengan pemulihan demokrasinya, aturan sensor di Burma pun diperlonggar, sehingga memungkinkan perkembangan seni dan budayanya. Pada malam-malam tertentu, Anda dapat menyaksikan acara komedi, penampilan band rock, atau pembukaan pameran seni di galeri-galeri, seperti Pansodan, Deitta Gallery, Nawaday Art Gallery, dan River Gallery di The Strand.

Yangon telah bergerak jauh dari akarnya sebagai desa nelayan Mon yang disebut Dagon pada abad ke-6, saat Pagoda Shwedagon baru dibangun di puncak bukit Singuttara. Jika Anda mengunjunginya, pastikan Anda membawa kamera dan tripod untuk mengambil gambar di sekitar kota dan juga Pagoda Emas dengan segala keindahannya yang berkilau, karena dalam lima tahun lagi tempat itu akan berubah.



#VisindoAgensiTama

0 komentar:

Posting Komentar

Link Banner

PERBANKAN

REVIEW

KASUS BISNIS

HALAL CORNER

KAJIAN MUSLIM

RENUNGAN

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH INDONESIA

SEJARAH DUNIA

EDITORIAL

DESTINASI INDONESIA

DESTINASI MANCANEGARA