Minggu, 13 Maret 2016

SINGKAWANG - Mencumbui Kota Amoi


Kota Seribu Klenteng atau Kota Amoi. Itulah julukan Singkawang. Di sepanjang jalanan kota di Provinsi Kalimantan Barat itu berdiri klenteng-klenteng dalam pelbagai ukuran, juga aneka menu peranakan Tionghoa, Melayu, dan Dayak.

Jalan-jalan ke Singkawang, yang berjuluk ‘’Kota Seribu Klenteng’’, tidak lengkap rasanya jika tidak mengunjungi salah satu vihara yang cukup terkenal dan bersejarah, Vihara Tri Dharma Bumi Raya. Keberadaan vihara di Jalan Kelurahan Melayu, Kecamatan Singkawang Barat, yang berdiri sejak 1878 itu menunjukkan pluralisme di negeri ini telah berlangsung lama.

Pada masa lalu Kota Singkawang merupakan tempat persinggahan orang-orang Tionghoa yang hendak menambang emas di Monterado, Kabupaten Bengkayang. Ketika itu sekeliling Kota Singkawang masih berupa hutan belantara. Menurut kepercayaan warga Tionghoa, setiap hutan memiliki roh penjaga yang melindungi bersangkutan.


Vihara Tri Dharma Bumi Raya, yang keberadaannya kini tepat di jantung Kota Singkawang, dipercaya sebagai tempat berdiamnya Dewa Bumi Raya. Warga Tionghoa memercayainya sebagai Dewa Penjaga Kota Singkawang. Berdasarkan kepercayaan itu, warga Tionghoa Kota Singkawang dan sekitarnya pun menggelar semacam ulang tahun bagi Dewa Bumi Raya.

Pada awalnya vihara tersebut hanya berupa pondok sederhana, tempat transit orang-orang dari luar Singkawang. Di sekeliling pondok terdapat tempat untuk menambatkan kuda. Baru sekitar tahun 1920, pondok dirobohkan dan dibangunlah vihara yang lebih permanen.

Kala kebakaran hebat melanda Kota Singkawang pada 1930, vihara itu turut ludes terbakar. Tiga tahun kemudian dibangun lagi. Patung Tua Peh Kong dan istrinya yang selamat dari kebakaran dipasang di vihara baru itu. Di kiri-kanan Patung Tua Peh Kong dan istrinya terdapat Patung Dewa Kok Sing Bong dan On Chi Siu Bong. Sementara pada bagian tengah terdapat Patung Buddha Gautama.

Cap Go Meh melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas China di seluruh dunia, termasuk warga Tionghoa di Indonesia. Berarti, masa perayaan Tahun Baru Imlek berlangsung selama 15 hari. Kota Singkawang pun menjadi pusat perayaan Cap Go Meh secara kolosal dan sudah sohor di dalam maupun luar negeri.


Sejatinya Singkawang adalah kota yang tenang. Namun, semuanya berubah kala perayaan Cap Go Meh yang dilaksanakan turun-temurun sejak 200 tahun silam. Perayaan Cap Go Meh di Singkawang kian menarik berkat atraksi Tatung, yaitu orang yang menyediakan dirinya dirasuki oleh salah satu dari dewa-dewa yang dipercayai warga Tionghoa.

Tidak hanya lelaki dewasa yang siap menjadi tatung, tetapi juga anak anak dan perempuan. Para tatung berasal dari perwakilan berbagai sinmiau (klenteng) yang tersebar di seluruh pelosok kota Singkawang, Sambas, Pemangkat, serta kota-kota atau desa-desa sekitarnya.

Pawai Tatung bermula dari gelombang migrasi etnis Tionghoa sekitar 400 tahun silam, khususnya suku Khek atau Hakka dari bagian selatan China menuju Kalimantan Barat. Para imigran itu lantas dipekerjakan di tambang emas oleh Sultan Sambas, penguasa Singkawang kala itu.

Suatu ketika tersebar wabah penyakit di perkampungan perkampungan mereka. Karena saat itu belum ada pengobatan modern, mereka pun menggelar ritual tolak bala yang dalam bahasa Hakka disebut ta ciau. Sejak saat itu ritual tersebut terus dilakukan setiap tahun.

Inti dari ritual Pawai Tatung adalah mengusir roh-roh jahat dari seluruh penjuru kota. Para tatung atau orang sakti yang dipilih pun trance saat dimasuki roh leluhur. Dalam posisi kerasukan para tatung menunjukkan kesaktiannya, seperti pipi ditusuk benda-benda tajam hingga tembus, kebal senjata tajam, mengupas kelapa dengan gigi, serta sejumlah aksi lain yang mendebarkan.

Nama Singkawang berasal dari San Kew Jong (Gunung Mulut Laut), yang berarti daerah di antara gunung dan laut. Lebih tepatnya, terletak di ‘’mulut’’ laut. Daerah ini merupakan salah satu tempat tinggal terbesar etnis Tionghoa di Indonesia.

Kota nan elok itu dihuni etnis Tionghoa, Melayu, dan Dayak. Ketiganya saling berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari kegiatan sosial, urusan kawin mawin, hingga ke kulinernya. Tidak mengherankan jika kemudian didapati julukan ‘’Cinday (China Dayak)’’ dan ‘’China Masuk Melayu’’.

Oleh karena itu, Singkawang terkenal pula dengan sebutan ‘’Kota Amoi’’. Selain deretan klenteng dalam pelbagai ukuran, memasuki kota ini bisa jadi pengunjung juga disambut keramahan para amoi (anak perempuan atau gadis Tionghoa). Sejatinya kata amoi bermakna positif. Sayang, belakangan kata itu sering disalahtafsirkan, sehingga maknanya cenderung bergeser ke konotasi negatif.

Sebagai kota tertua, banyak bangunan kuno betebaran di Singkawang, di antaranya rumah tua marga Xie yang berarsitektur China. Bangunan kuno di Jalan Budi Utomo, Singkawang, itu didirikan oleh Xie, leluhur pertama marga Xie. Hingga kini sudah tujuh generasi yang menetap di situ dan akan terus berlangsung ke generasi berikutnya.


Pesona indah Kota Tua Singkawang bisa nikmati di malam hari, terutama saat berburu aneka kuliner malam di Pasar Hongkong. Dinamai Pasar Hongkong karena kemiripannya dengan yang berada di Hong Kong: yang berjualan didominasi etnis Tionghoa plus menu yang dijajakan kebanyakan menu khas China.


Rindu Alam merupakan sebuah bukit yang berlokasi tidak jauh dari bibir pantai. Posisinya tidak jauh dari Pantai Pasir Panjang, yakni sekitar 20 km dari pusat Kota Singkawang. Dari atas bukit ini bisa dinikmati dengan jelas pantai Pasir Panjang dan pantai Pasir Pendek, Tanjung Bajau, juga pantai Sinka Island. Begitu pula sejumlah pulau, seperti Pulau Simping, Pulau Randayan, dan Pulau Kabung. Menatap ke arah kanan pantai, bisa dinikmati keindahan Kota Singkawang.

Beberapa gazebo untuk bersantai dibangun di pinggiran bukit. Udara nan sejuk serta suasana tenang dengan berbagai macam tanaman bunga di sekitar bukit kian membuat pikiran dan suasana hati terasa damai.


Pada musim hujan atau menjelang turun hujan, kawasan puncak Rindu Alam sering diselimuti awan. Tangan pun bisa menyentuh langsung awan itu. Wisatawan bisa menikmati dingin alam pegunungan sejak pukul 18.00 hingga pagi, terutama pada Agustus–Februari. Bisa dinikmati pula pemandangan tiga puncak pegunungan yang menyatu, yakni Gunung Kota, Gunung Besar, dan Gunung Lapis.

Setelah menyaksikan saat-saat matahari terbenam di ujung Laut Natuna di sore hari, pada malam malam hari di tengah terpaan udara dingin pengunjung bisa menikmati indahnya kelap-kelip lampu Kota Singkawang. Bahkan, keindahan laut, pulau, dan gunung di empat kabupaten (Mempawah, Bengkayang, Kota Singkawang, dan Kabupaten Sambas) bisa dinikmati pula dari Rindu Alam.

Senja di Pasir Panjang Pantai Pasir Panjang berada di Kecamatan Tujuh Belas, sekitar 30 menit berkendara dari Kota Singkawang. Ia merupakan pantai berpasir putih dengan air biru jernih dan berombak tenang. Alamnya masih asri dengan udara sejuk.


Dari bibir pantai, pengunjung bisa menikmati panorama laut biru berlatar kaki langit yang juga biru. Samar-samar di kejauhan membias hijau Pulau Lemukutan, Pulau Kabung, serta Pulau Randayan yang dipagari perairan Laut Natuna. Hamparan luas pasir pantai nan bersih menjadikannya spot nyaman untuk berjemur.

Selain berenang atau menikmati keindahan pantai, pengunjung bias mencoba beragam permainan air seperti banana boat atau sepeda air. Anak-anak juga bisa bersenang-senang di taman bermain yang tersedia.


Kegiatan yang paling dinanti pengunjung adalah menikmati matahati terbenam. Kemilau cahaya surya sore menyuguhkan pemandangan luar biasa. Sunset mengubah langit biru Singkawang dan Laut Natuna menjadi berkilau merah muda. Teramat saying jika dilewatkan. Menikmati detik detik matahari terbenam di balik pulau-pulau di sekitar kawasan pantai memberikan kenangan berkesan. Pengunjung bisa menikmatinya dari pinggir pantai maupun pondok pondok wisata di kawasan itu. Pengunjung bisa pula melihat langsung kehidupan masyarakat kampung nelayan yang tidak terlalu jauh dari lokasi pantai.



#BeritaNasional



0 komentar:

Posting Komentar

Link Banner

PERBANKAN

REVIEW

KASUS BISNIS

HALAL CORNER

KAJIAN MUSLIM

RENUNGAN

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH INDONESIA

SEJARAH DUNIA

EDITORIAL

DESTINASI INDONESIA

DESTINASI MANCANEGARA