Jumat, 11 Maret 2016

SUPERSEMAR YANG MEMBUAT INDONESIA JUNGKIR BALIK


Naskah Surat Perintah Sebelas Maret 1966 kini antara ada dan tiada. Tidak ada seorang pun di negeri ini yang secara terang- terangan menyatakan menyimpan naskah tersebut. Kalaupun ada, sejauh mana kebenarannya? Arsip Nasional Republik Indonesia pun menyimpan tiga naskah yang sempat diduga sebagai naskah otentik Supersemar meski ternyata tidak otentik.

Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Polri yang telah menyatakan ketiga naskah itu tidak otentik. Naskah itu pun didapatkan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dari Sekretariat Negara, dari Pusat Penerangan TNI AD, dan dari Yayasan Akademi Kebangsaan.

Hari ini, tepat lima puluh tahun sejak Soekarno menerbitkan Supersemar, pencarian terus dilakukan. Arsip Nasional Republik Indonesia telah membentuk tim khusus untuk mencari dokumen tersebut. Tim itu siap meluncur jika ada informasi apa pun terkait keberadaan dokumen Supersemar.

Sejarawan Asvi Warman Adam menegaskan, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan telah memuat ketentuan Daftar Pencarian Arsip. "Dengan ketentuan itu, maka petugas arsip dapat saja memeriksa rumah mantan Presiden Soeharto di Jalan Cendana. Siapa tahu ada arsip itu di sana," ujarnya.

Soeharto, kata Asvi, tergolong orang yang sangat memedulikan penyimpanan barang-barang yang dianggap penting. Selama Soeharto berkuasa, dia juga menyimpan bendera pusaka di kediamannya di Jalan Cendana, Jakarta.


Pencarian Supersemar pun cukup semarak-setidaknya dalam catatan Asvi. Dalam sebuah pertemuan eks Tentara Pelajar di Jakarta pada tahun 2000, Asvi mendapatkan naskah Supersemar yang ditulis tangan oleh Bung Karno. Naskah itu diberikan oleh sekretaris mantan Menteri Penerangan era Orde Lama. Namun, Asvi meragukan tanda tangan Bung Karno dalam surat itu.

Tahun 2012, seorang putra kiai di Jawa Timur menghubungi Asvi untuk menginformasikan keberadaan dokumen asli Supersemar yang dipigura di kamar tamunya. Menurut dia, naskah itu dibawa oleh Mayor Jenderal Sudjono Humardani, penasihat spiritual Soeharto. Namun belakangan, ANRI telah menyatakan dokumen itu adalah hasil fotokopi.

Tahun 2014, Asvi ditemui seorang perempuan Indonesia yang bermukim di Australia. Perempuan yang pernah menjadi sekretaris Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat tersebut mengaku membeli lukisan dari sebuah rumah lelang di India. Lukisan itu pernah menjadi milik Dewi Soekarno yang diberikan oleh Bung Karno sendiri.

Di balik lukisan itu konon tersimpan tembusan Supersemar. "Kalaupun benar, ya itu hanya tembusannya. Bukan surat yang asli," ujar Asvi.

Mencari konteks

Menurut Daniel Dhakidae, penulis buku Menerjang Badai Kekuasaan, kini tidak penting lagi ada atau tidak adanya dokumen Supersemar. "Yang jelas ada adalah konsekuensinya yang begitu brutal. Jadi, lebih baik kita mencari konteksnya saja," ujarnya.

Salah satu dampak dari Supersemar, kata Daniel, mengubah masyarakat dan sejarah Indonesia. Ada jungkir balik dalam perjalanan hidup bangsa Indonesia. Perdebatan pun tidak lagi soal imperialisme atau kolonialisme, tetapi soal terlibat atau tidak terlibat Gerakan 30 September 1965. Juga ada pengelompokan antara "bersih diri versus tidak bersih diri" atau "bersih lingkungan versus tidak bersih lingkungan".

Dengan demikian, Daniel meminta supaya hal-hal terkait peristiwa Supersemar lebih baik dihapuskan saja dari buku sejarah untuk sekolah dasar dan sekolah menengah. "Kalau untuk dunia kampus, ya biarkan saja karena mereka sudah dapat berpikir lebih baik," ujarnya.

Walau Daniel menyatakan tidak penting lagi untuk mencari dokumen Supersemar, tetapi dia mendukung jika ada peneliti dan penulis buku yang hendak mencarinya. Namun, Daniel tetap mengibaratkan pencarian dokumen Supersemar seperti pekerjaan mencari hantu.

Simpang siur

Kisah seputar penerbitan Supersemar adalah sebuah kisah yang simpang siur. Beberapa biografi dari tokoh-tokoh nasional yang berperan pada era itu juga tidak menampilkan satu cerita yang sama.

Ada pertanyaan misalnya, apakah tiga jenderal, yakni Basoeki Rachmat, M Jusuf, dan Amir Machmud, bertemu dengan Soeharto terlebih dahulu sebelum menekan Soekarno untuk menerbitkan Supersemar? Ataukah, Soeharto bersikap pasif dalam proses penerbitan Supersemar?

Namun Jusuf Wanandi dalam buku Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (Penerbit Buku Kompas, 2014) menulis tiga jenderal itu terlebih dahulu menemui Soeharto di Jalan Agus Salim, Jakarta. "Apa yang harus kami lakukan?" kata tiga jenderal itu.

Soeharto pun memerintahkan mereka ke Istana Bogor. "Katakan kepada Soekarno, kalau dia memercayakan kewenangannya kepada saya, maka saya akan menjamin stabilitas nasional dan keselamatannya," ujar Soeharto.


Menurut Asvi, yang kemudian diperkuat dalam otobiografi Hasjim Ning, Pasang Surut Penguasa Pejuang (1986), pada 9 Maret 1966 malam, Soeharto telah mengutus pengusaha Hasjim Ning dan M Dasaad untuk membujuk Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.
Namun, Soekarno menolak. Soekarno mengatakan, "Kamu juga sudah pro Soeharto?!" Kemudian, Soekarno melemparkan asbak ke arah dua pengusaha tersebut.

Setelah Soekarno akhirnya menandatangani Supersemar, ada kontroversi lain soal apakah tiga jenderal itu melaporkan Supersemar ke kediaman Soeharto di Jalan Agus Salim atau apakah dokumen Supersemar dibawa langsung ke markas Kostrad? Belum ada kata final soal ini.

Soekarno tidak sadar

Aiko Kurasawa, penulis buku Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang melakukan penelitian yang antara lain bersumber dari Dewi Soekarno, memperlihatkan bahwa Dewi pun sempat tidak menyadari dampak dari Supersemar terhadap kekuasaan suaminya. Boleh jadi, sikap Dewi yang ketika tetap percaya diri dipengaruhi oleh sikap Soekarno yang tidak merasa kekuasaannya sedang di ujung tanduk.

Belakangan, kata Aiko, Dewi Soekarno menyadari kekalahan Soekarno setelah Soeharto menawarkan tiga opsi melalui dirinya. Ketika bermain golf dengan Soeharto pada 20 Maret 1966, Dewi mendapatkan tiga usulan dari Soeharto.

Pertama, pergi ke luar negeri untuk beristirahat. Kedua, tetap tinggal sebagai Presiden walau hanya sekadar sebutan Presiden saja (tanpa kekuasaan). Ketiga, Soekarno diminta mengundurkan diri secara total dari posisi Presiden.

Dalam bukunya, Aiko mengutip Asashi Shimbun edisi 23 Maret 1966 bahwa Soeharto menyarankan supaya Soekarno beristirahat di Jepang atau Mekkah.
Media-media Jepang, kata Aiko, bahkan dari bulan Januari 1966 sudah berspekulasi bahwa Soekarno mungkin akan meninggalkan Indonesia dan pindah ke Jepang bersama Dewi sebagai tempat pengasingannya. Spekulasi itu akhirnya tidak pernah terjadi dan Soekarno tetap di Indonesia hingga wafat.

Terlepas dari ada atau tidaknya naskah asli Supersemar, tiap tanggal 11 Maret sebagian warga negeri ini tetap mengenang atau setidaknya terkenang dengan Supersemar. Kenangan itu tidak hanya bagi mereka yang hidup di zaman itu, tetapi juga bagi anak dan cucu dari tokoh-tokoh yang terdampak dari hadirnya Supersemar.

Bagi Asvi, pencarian naskah asli Supersemar harus dilanjutkan demi kepentingan korban tragedi 1965-1966. Bagi Asvi, ditemukannya naskah asli Supersemar adalah bagian dari pencarian terhadap kebenaran yang didambakan oleh keluarga korban.

Bahkan hingga hari ini, kata Asvi, ada seorang artis terkenal yang tidak pernah mengungkapkan jati dirinya sebagai cucu dari seorang tokoh yang terstigma oleh peristiwa 30 September 1965. Nenek dari artis tersebut pun terasing akibat pembubaran Partai Komunis Indonesia, yang mendapatkan legitimasi yuridis dari Supersemar.



#HaryoDamardono







0 komentar:

Posting Komentar

Link Banner

PERBANKAN

REVIEW

KASUS BISNIS

HALAL CORNER

KAJIAN MUSLIM

RENUNGAN

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH INDONESIA

SEJARAH DUNIA

EDITORIAL

DESTINASI INDONESIA

DESTINASI MANCANEGARA