Kamis, 10 Maret 2016

AWAS, TURBULENSI GLOBAL


Kita memiliki pengalaman berharga kala menghadapi krisis finansial global tahun 2008. Kala itu, perekonomian dunia mengalami resesi, hampir semua negara maju dan negara emerging markets mengalam kontraksi ekonomi. Indonesia bisa menikmati pertumbuhan positif, bahkan mencapai 4,6 persen yang hanya sedikit lebih rendah ketimbang pertumbuhan tahun 2015.

Tahun ini bahaya menghadang dari segala penjuru. Pertumbuhan ekonomi China melemah, perekonomian Brazil terjun bebas. Emerging markets mengalami penurunan belanja modal dan peningkatan utang swasta. Perekonomian negara maju belum menunjukkan tanda-tanda mampu tumbuh memadai walaupun telah menempuh kebijakan moneter super-longgar, bahkan sejumlah bank sentral telah menggulirkan kebijakan suku bunga negatif. Harga-harga komoditas masih dalam kondisi tertekan. Sebagian besar bursa saham dunia goyah. Laba korporasi melandai di mana-mana.

Namun pengamat ekonomi Faisal Basri menegaskan tidak perlu panik, karena selalu ada peluang dalam turbulensi sekalipun--reason not to worry. Untuk menghadapi kondisi tertekan dengan ancaman dari berbagai penjuru, ada baiknya pemerintah menitikberatkan pada upaya menjaga kestabilan ekonomi. Lebih baik melunakkan target. Karena pasar dunia sedang tertekan, ada baiknya tidak memasang target peningkatan ekspor terlalu tinggi. Sekedar tumbuh saja sudah lumayan, mengingat selama empat tahun terahir selalu merosot dan kian parah dalam dua bulan pertama tahun 2016.

Yang cukup mengkhawatirkan adalah penerimaan negara dua bulan pertama tahun ini turun dibandingkan tahun 2014 dan 2015. Boleh jadi karena potensi penerimaan tahun ini sudah disedot tahun lalu karena "kalap" defisit APBN bisa menembus 3% dari PDB sehingga melanggar UU Keuangan Negara. Akibat penerapan jurus "jalan pintas" muncul komplikasi di sektor lain. Muncul pula beragam kebijakan jalan pintas atas nama swasembada yang merusak keseimbangan pasar, yang akibatnya memicu kenaikan harga kebutuhan pokok.

Bahayanya lagi, dalam kondisi yang bersamaan, realisasi penerimaan pajak masih sangat rendah. Tentu kedua hal ini menjadi peringatan bagi pemerintah dalam mencari pinjaman guna menutup defisit fiskal hingga akhir tahun. Pasalnya, membesarnya rasio DSR (Debt Service Ratio) akan memberikan sentimen negatif bagi investor.

Kekhawatiran atas default utang dan ketakutan atas semakin memburuknya ekonomi domestik tentu menjadi pertimbangan utama investor dalam memutar uangnya di dalam negeri. Ditambah pula, instabilitas mata uang rupiah akan memperparah tingkat bahaya ekonomi domestik karena akan langsung menekan industri yang berbasiskan barang impor beserta harga-harganya.

Pasalnya, berdasarkan laporan statistik ULN Bank Indonesia (BI) sekarang, posisi ULN Indonesia sekarang mencapai Rp 4.200 triliun lebih, tak bisa dimungkiri, peningkatan utang tersebut merupakan imbas depresiasi nilai tukar rupiah yang cukup dalam selama 2015. Meski ekonomi mulai membaik pada kuartal III-2015, swasta masih menahan posisi ULN.

Selain itu, ada pihak melalui bendera "nasionalisme" untuk mengeruk rente. Belum lagi silang sengketa dan kegaduhan di antara sesama menteri. Seharusnya menghadapi tantangan dan ancaman dari luar yang tak habis-habisnya, para pejabat semakin kompak, dan Presiden efektif sebagai konduktor memandu semua pemain musik tunduk pada partitur agar orkestrasi menghasilkan nada-nada indah. Lebih menjaga yang sudah dalam genggaman ketimpang mengandalkan sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa kita kendalikan. Terpenting adalah menjaga daya beli masyarakat. Kedua, mendorong agar investasi swasta terus naik, termasuk penanaman modal asing langsung. Semoga!



#Neraca

0 komentar:

Posting Komentar

Link Banner

PERBANKAN

REVIEW

KASUS BISNIS

HALAL CORNER

KAJIAN MUSLIM

RENUNGAN

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH INDONESIA

SEJARAH DUNIA

EDITORIAL

DESTINASI INDONESIA

DESTINASI MANCANEGARA