Rabu, 16 Maret 2016

MENCARI KOMPROMI MENUTUP DEFISIT BPJS KESEHATAN


Minggu lalu, pemerintah resmi menerbitkan PP Nomor No.19/2016 yang mengatur penaikan iuran BPJS Kesehatan bagi Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta Mandiri.

Penaikan iuran yang berlaku mulai April 2016 ini sebagai salah satu upaya untuk menekan defisit yang dialami BPJS Kesehatan, akibat tidak seimbangnya iuran yang dikumpulkan dan pengeluaran klaim layanan kesehatan.

Perpres tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 /2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional tersebut ditandatangani pada 29 Februari lalu, namun baru dipublikasikan Kamis (10 Maret 2016).

Dalam pasal 16 F Perpres tersebut, diatur bahwa besaran iuran peserta mandiri naik seluruhnya. Rinciannya, iuran kelas I yang semula Rp59.500 naik menjadi Rp80.000, iuran kelas II semula Rp42.500 naik men jadi Rp51.000. Sedangkan iuran kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp30.000.

Peserta mandiri merupakan salah satu sumber pendapatan dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Selain peserta mandiri yang diantaranya merupakan pengusaha kecil menengah dan sektor informal, kepesertaan BPJS terdiri dari Pekerja Penerima Upah (PPU), Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Bukan Pekerja (BP).

Dalam Perpres itu, hanya PBPU atau pekerja mandiri yang besar iurannya ditingkatkan. Namun sebenarnya, iuran dari penerima bantuan iuran (PBI) sudah naik per 1 Januari 2016 lalu menjadi Rp23.000, dari sebelumnya Rp19.000 per orang.

Apakah penaikan iuran itu bisa menurutup defisit? BPJS sendiri menyatakan penyesuaian tarif iuran belum menjamin bahwa tidak akan ada defisit tahun ini. Namun cukup efektif untuk mereduksi defisit pada tahun ini.

Pelaksanaan BPJS Kesehatan yang menganut prinsip gotong royong memang sejak awal sudah dibayang-bayangi masalah defisit. Apalagi kalau dilihat dari besaran iuran yang ditetapkan dan target jumlah kepesertaaan yang naik setiap tahunnya.

Selama ini, dalam menekan defisit, BPJS Kesehatan menghadapi beberapa kenyataan diantaranya tingginya pemanfaatan pelayanan kesehatan (rasio klaim) peserta PBPU/ Pekerja Mandiri. Di sisi lain, tingkat ke patuhan pembayaran iuran (kolektibilitas) di kelompok peserta ini relatif rendah.

Belum lagi masih rendahnya partisipasi langsung dari Pekerja Penerima Upah (PPU) sektor swasta dan masyarakat umum yang sehat untuk ikut mendaftar da lam program JKN.

Dalam kondisi seperti itu, selisih antara penerimaan iuran dan pembayaran klaim memang tidak terhindarkan. Tahun lalu, defisitnya diperkirakan mencapai Rp4 triliun. Potensi defisit tahun ini bisa mencapai Rp9,79 triliun dengan melihat peluang penam bahan peserta bila besaran iuran tetap dipertahankan.

Oleh karena itu, menaikkan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri memang pilihan yang rasional, namun berisiko tinggi. Rasional karena selain tingkat pemanfaatan layanan kesehatan di segmen ini relatif tinggi, menaikkan iuran menjadi pilihan yang cepat dan mudah.

Tapi pilihan itu berisiko ditentang berbagai kalangan, terutama dari YLKI, DPR dan peserta itu sendiri. Bahkan alih-alih menaikkan jumlah peserta, penaikan iuran ini berpotensi menurunkan tingkat kolektibilitas dari segmen pekerja mandiri karena kemampuan membayarnya menurun.

Sementara, menaikkan iuran bagi pekerja penerima upah juga tidak mudah. Pertimbangannya, meskipun tingkat kolektibilitas dari segmen ini relatif tinggi, tidak berarti kalangan ini akan begitu saja menerima jika iurannya dinaikkan. Selain jarang menggunakan fasilitas BPJS, peserta segmen ini biasanya masih mengeluarkan lagi biaya untuk membayar asuransi non BPJS.

Kondisi itu dimungkinakan karena tidak sedikit perusahaan yang mengikutsertakan pekerjanya dalam program BPJS Kesehatan, tapi tetap mempertahankan fasilitas asuransi kesehatan non BPJS. Ada juga perusahaan yang hanya menyediakan fasilitas kesehatan BPJS, tetapi karyawan dengan kesadaran sendiri membayar premi asuransi non BPJS. Sehingga bila iurannya dinaikkan, beban perusahaan maupun karyawan akan bertambah.

Oleh karena itu, BPJS Kesehatan harus melakukan langkah yang lebih strategis untuk menutup potensi defisit dengan menggenjot jumlah kepersertaan, khususnya pekerja penerima upah atau pekerja formal, serta menaikkan iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang menjadi tanggungan negara.

Yang juga penting adalah meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan dan pelayanan di semua jenjang fasilitas kesehatan. Dengan demikian kenaikan iuran ini tidak sekadar untuk menutup defisit.



#BisnisIndonesia




0 komentar:

Posting Komentar

Link Banner

PERBANKAN

REVIEW

KASUS BISNIS

HALAL CORNER

KAJIAN MUSLIM

RENUNGAN

SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH INDONESIA

SEJARAH DUNIA

EDITORIAL

DESTINASI INDONESIA

DESTINASI MANCANEGARA